Selasa, 07 Februari 2012

Karnamu, Ibu...

Dengan langkah pelan, pagi ini Lintang menuju sekolah barunya. Tak seperti kebanyakan siswa yang antusias menyambut tahun ajaran baru, Lintang justru mengawali pagi pertama di sekolah barunya dengan perasaan kesal. Ia kesal karena harus ada di sekolah ini.

Lintang yang lulusan SMP favorit di kota tentu merasa malu karena harus melanjutkan sekolah di kampung, belum lagi sekolah barunya ini adalah Madrasah Aliyah yang mengharuskannya mengenakan kerudung saat berada di sekolah. Sebagai anak yang beranjak remaja di tengah hiruk pikuk kota, pakaian Lintang selama di kota bisa dibilang telah mengikuti trend anak muda kebanyakan. Karenanya, ketika diminta sang ibu untuk bersekolah disini, hal yang paling berat bagi Lintang adalah keharusan mengganti cara berpakaiannya. Namun, Lintang tak dapat berbuat apa-apa karena keadaan mengharuskannya melanjutkan sekolah di kampung kelahirannya ini. Biaya sekolah di kota yang semakin besar membuat ibu Lintang yang hanya bekerja sebagai buruh cuci itu terpaksa memaksanya untuk melanjutkan sekolah di kampung saja.
Enam bulan sudah dijalani Lintang di sekolah barunya, namun ia tetap tak bersemangat menjalani hari-harinya di sekolah. Kewajiban berkerudung saat ke sekolah pun tak dapat mengubahnya menjadi wanita yang istiqamah dalam berjilbab. Walaupun guru-guru agama di sekolahnya telah menekankan bahwa berkerudung bukanlah kewajiban dari sekolah namun kewajiban agama, Lintang tetap merasa risih dan malu jika harus berkerudung. Karenanya, saat waktu sekolah usai Lintang segera membuka kerudungnya. Begitupula jika keluar rumah selain pergi ke sekolah maka ia kerap kali menyimpan kerudungnya. Kalaupun ia pergi dengan memakai jilbab, hal itu ia lakukan karena paksaan dari ibunya.
Suatu hari, Lintang berjalan gontai seusai pulang sekolah. Tak seperti biasa, kali ini ia membiarkan kerudung kusam itu bertengger di kepalanya karena cuaca yang sangat panas. “Lumayan buat menutupi kepalaku”, pikir Lintang.
Tak jauh berjalan dari sekolah, sebuah suara terdengar memanggil namanya. “Lintang……!!!!” Lintang pun mencari sumber suara dan matanya tertuju pada sosok di seberang jalan yang sudah cukup dikenalnya. Ayu, kawannya saat SMP yang saat ini melanjutkan sekolahnya di SMA Kota itu sedang tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Lintang. Dengan kaos ketat dan rok mininya, Ayu terlihat sangat cantik di mata Lintang. Terbersit penyesalan dalam diri Lintang karena ia sungguh sangat ingin sekolah di kota seperti kawannya ini, apalagi jika melihat pakaian Ayu yang sangat berbeda dengan dirinya. Ayu yang saat ini sedang liburan sekolah menceritakan banyak hal mengenai sekolah baru dan pergaulannya di kota. Dengan perasaan iri, Lintang terpaksa setia mendengarkan cerita Ayu. Hingga meluncurlah kalimat yang membuatnya cukup kesal, “Oh ya, sekarang kamu pake kerudung…. Hmm, Sekolah di kampung bikin kamu makin ketinggalan zaman yah… Hehe..” Ucap ayu dengan nada menyindir. Lintang yang sudah tak tahan mendengar ocehan Ayu segera pamit pulang dan berlari meninggalkannya.
Di perjalanan, Lintang terisak mengingat ucapan kawan lama yang baru ditemuinya tadi. Dengan perasaan kesal, terbersit dalam benaknya penyesalan mengapa ia bertemu dengan Ayu saat ia memakai kerudung. Lintang sungguh malu karena ia tentu terlihat sangat kampung dengan memakai kerudung sekolah bekas pemberian tetangganya  itu.  Hampir saja Lintang berniat melepas dan membuang kerudungnya ketika sebuah suara mengiba terdengar dari rumah besar di hadapannya. “Bu,,, saya mohon ibu mau memberikan kerudung bekas sekolah non Tika ini. Daripada ibu menjual ke tukang loak lebih baik ibu memberikan pada saya, biarlah hari ini saya tidak mendapat upah cuci yang penting Lintang punya kerudung sekolah baru bu. Walaupun bekas, tapi kerudung ini masih lebih baik jika dibanding dengan kerudung yang dipakai Lintang sekolah saat ini….” Ibu Lintang memohon pada Bu Ranti, pemilik cucian yang diupahkan padanya. “Baiklah bu, kerudung ini dan beberapa kerudung harian punya Tika akan saya berikan kepada ibu sebagai ganti upah cuci ibu hari ini.” Akhirnya ibu Ranti mau memberikan kerudung tersebut kepada ibu Lintang. Dengan wajah gembira, ibu Lintang berjalan cepat menuju rumahnya dengan membawa kerudung baru untuk anak tercintanya.
Menyaksikan kejadian tersebut, Lintang yang semula kesal pada ibunya mulai luluh dan merasa bersalah. Ia tak sanggup menahan tumpahan air matanya kala menyaksikan ibu yang sangat dicintainya mengemis pada orang lain demi memberikan kerudung baru bagi dirinya. Berbagai perjuangan dan pengorbanan yang selama ini dilakukan ibunya kembali hadir dalam benaknya. Di masa tuanya, ia tetap setia mengisi harinya dengan mencuci dan mencuci tanpa kenal lelah. Meski raganya tak lagi sekuat dulu, namun demi anak satu-satunya ini ia rela banting tulang demi mendapatkan uang guna membiayai sekolah anaknya.
Sesampainya di rumah, Lintang segera menghambur ke pelukan sang ibu yang sedang sibuk memasak di dapur…
“Ibu….!!! Maafkan Lintang yah….Lintang janji akan sekolah dengan rajin, Lintang juga akan selalu memakai kerudung jika keluar rumah. Lintang………”
“Sstt…. Kamu ndak perlu berjanji pada ibu Nak… Ibu juga ndak ingin kamu berkerudung karena ibu, Ibu ingin kamu melakukannya benar2 karena Allah. Tak perlu meminta maaf karena kamu tak pernah salah, Nak!!!” Dengan penuh bijaksana sang ibu menenangkan hati Lintang.
“Lintang berjanji pada-Mu ya Rabb….Lintang ingin menjalankan kewajibanmu dengan sempurna. Ampuni Lintang yang berlumur dosa ini. Terima kasih, bu…… ibu telah menjadi perantara terindah yang mengantarkan Lintang menuju hidayah-Nya…“

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu komen, saran, dan kritiknya...
Syukron ^,^