Selasa, 07 Februari 2012

Persoalan Hubungan Ilmu dan Nilai

A.    Pendahuluan
Ilmu pengetahuan sebagai bagian dari hasil karya manusia mengalami perkembangan yang semakin pesat. Seiring dengan perkembangannya, ilmu terbagi ke dalam beberapa disiplin yang membutuhkan pendekatan, sifat, objek, dan ukuran yang berbeda antara disiplin ilmu yang satu dengan lainnya.
Tak dapat dipungkiri, terspesialisasinya ilmu pengetahuan akhirnya menimbulkan jarak antar masing-masing ilmu bahkan ilmu-ilmu tersebut lambat laun mulai menjauh dari nilai luhur ilmu, yaitu untuk menyejahtarakan umat manusia.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di satu sisi ilmu mengalami kemajuan sedangkan di sisi lain timbul kekhawatiran akan perkembangan ilmu yang menimbulkan implikasi negatif bagi kehidupan. Ilmu pengetahuan dan teknologi kehilangan tujuan hakikinya, bahkan tanpa sadar mulai mengikis sifat mulia seorang manusia. Perkembangan yang pesat dari ilmu pengetahuan dan teknologi tidak jarang justru menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Padahal ilmu pengetahuan terutama yang telah diterapkan menjadi sebuah teknologi menawarkan berjuta kemudahan dan kenyamanan bagi manusia. Namun, hal tersebut tidak dirasakan dan berimbas pada kehidupan manusia itu sendiri. Hal ini tentu menjadi pertanyaan bagi kita, apa ada yang salah dengan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut?
Untuk menemukan solusi dari pertanyaan tersebut, maka penulis merasa perlu untuk mengemukakan hal ini sehingga persoalan perkembangan ilmu pengetahuan tidak semakin meluas dan memberikan dampak negatif yang semakin besar. Dalam makalah ini, penulis akan menguraikan definisi ilmu dan nilai, hubungan ilmu dan nilai serta persoalannya, serta solusi atas persoalan hubungan ilmu dan nilai.
B.    Definisi Ilmu dan Nilai
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘alima, ya’lamu, ‘ilman yang berarti mengerti, memahami benar-benar. Adapun dalam bahasa Inggris disebut science; dari Bahasa Latin scientia (pengetahuan). Dalam kamus besar bahasa Indonesia ilmu berarti pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan itu.
Adapun beberapa ciri utama ilmu menurut termonologi, antara lain:
1.    Ilmu adalah sebagian pengetahuan yang bersifat empiris, sistematis, dapat diukur dan dibuktikan.
2.    Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran orang, sebab ilmu dapat memuat hipotesis-hipotesis dan teori-teori sendiri.
3.    Ciri hakiki ilmu ialah metodologi, karena ilmu tidak dicapai dengan penggabungan tidak teratur dan tidak terarah.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu adalah sebagian pengetahuan yang diperoleh melalui berbagai tahapan yakni dengan metode yang sistematis dan terukur, serta melalui pengamatan ilmiah sehingga dapat dibuktikan secara ilmiah pula.
Sedangkan nilai merupakan tema baru dalam filsafat, adalah aksiologi, cabang filsafat yang mempelajarinya, muncul untuk yang pertama kalinya pada paroh kedua abad ke-19. Dalam hal ini, Plato telah membahasnya secara mendalam dalam karyanya, bahwa keindahan, kebaikan dan kekudusan merupakan tema yang penting bagi para pemikir di sepanjang zaman.
Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Sedangkan aksiologi menurut Jujun S. Suriasumantri diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. 
Dalam Encyclopedy of Philosophy yang dikutip oleh Amsal Bakhtiar, dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan Value and Valuation. Ada tiga bentuk Value and Valuation, yakni:
a.    Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian sempit  seperti baik, menarik, bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian.
b.    Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia sering kali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia.
c.    Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai.
Dari definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Etika merupakan sebuah cabang filsafat yang membicarakan perilaku manusia dalam hidupnya. Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan karena setiap tindakannya selalu dipertanggungjawabkan. Singkatnya, etika memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai ketentuan baik atau buruk.  Etika menilai perbuatan-perbuatan manusia, karenanya lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik dalam suatu kondisi yang normatif. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Sedangkan pandangan mengenai nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada.  Kebenaran tidak tergantung pada pendapat individu, melainkan tergantung pada objektivitas fakta, oleh karena itu ia tidak diperkuat atau diperlemah oleh prosedur demokrattik perhitungan suara. Misalnya, pendapat orang yang berselera rendah tidak akan mengurangi keindahan sebuah karya seni.
Adapun nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.  Bagi kaum subjektivis, nilai itu merupakan pengalaman, bukannya benda atau obyek, benda- benda mungkin berharga tetapi bukan nilai, nilai juga bersifat subyektif dalam artian bahwa nilai itu bergantung kepada hubungan antara seorang penganut dan hal yang dinilai.


C.    Hubungan Ilmu dan Nilai serta Persoalannya
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi dan lain sebagainya. Singkatnya, ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Hanya saja, perkembangan ilmu ternyata tidak berarti mutlak sebagai rahmat bagi kehidupan manusia. Tidak jarang, kemajuan ilmu dan teknologi yang terus berlangsung hingga saat ini, membuat banyak manusia khawatir atau bahkan takut terhadap dampak negatifnya dan banyak pula yang telah merasakan langsung akibatnya bagi kehidupan mereka.
Sejak dalam tahap pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya sendiri. Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya, pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif dan menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri. Bom justru dibuat sebagai senjata kuman yang dipakai sebagai alat untuk membunuh sesame manusia. Disinilah ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab, jika ilmu tidak berpihak pada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensinya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Untuk menjawab pertanyaan seperti itu, maka para ilmuwan berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan oleh ajaran agama.. Karenanya, timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama). Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan di antaranya agama. Dari hal tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Pengadilan inkuisisi Galileo ini selama kurang lebih dua setengah abad mempengaruhi proses perkembangan berfikir di Eropa, yang pada dasarnya mencerminkan pertarungan antara ilmu yang ingin terbebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan yang ingin menjadikan nilai-nilainya sebagai penafsiran metafisik keilmuan.
Dalam kurun ini para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan: Ilmu yang Bebas Nilai! Setelah pertarungan kurang lebih dua ratus lima puluh tahun maka para ilmuwan mendapatkan kemenangan. Setelah saat itu ilmu memperoleh otonomi dalam melakukan penelitiannya dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya.  Setelah ilmu mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatic, ilmu dengan leluasa dapat mengembangkan dirinya baik dalam bentuk abstrak maupun konkret.
Dalam perkembangan selanjutnya ilmu dan teknologi tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan yaitu dalam rangka mensejahterakan kehidupan manusia karena masalah moral dalam eksis ilmu dan teknologi yang bersifat merusak.
Menyikapi hal ini, para ilmuwan terbagi pada dua golongan pendapat. Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral. Dalam hal ini ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan dipergunakan untuk tujuan yang baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total, seperti pada waktu era galileo.
Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral.  Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni:
1.    Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang telah memmpergunakan teknologi-teknologi keilmuan.
2.    Ilmu telah berkembang dengan pesat hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang akibat-akibat yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan.
3.    Ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki
Berdasarkan ketiga hal di atas, maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
D.    Solusi atas Persoalan Hubungan Ilmu dan Nilai
Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk ke dalam perilaku keilmuannya., sehingga ia dapat menjadi ilmuwan yang mempertanggung jawabkan perilaku ilmiahnya. Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada elemen-elemen kaidah moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang bersifat utilitaristik.
Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi milik seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, budaya, dan sebagainya. Yang paling utama dalam nilai moral adalah yang terkait dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudut etis. Oleh karena itu, penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat dan sebagainya.  Ini berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut sudah tidak bebas nilai, karena ilmu sudah berada di tengah-tengah masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya. Akan tetapi, tidak semua teknologi atau ilmu pengetahuan selalu memiliki dampak positif ketika berada di tengah masyarakat. Kadangkala teknologi berdampak negatif dan ditolak oleh masyarakat. Menyikapi hal ini, seorang ilmuwan harus berjiwa besar dan bersifat terbuka untuk menerima kritik dari masyarakat. 
Di bidang etika, tanggung jawab seorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi namun harus memberi contoh. Dia harus bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar dan berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini, merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secara ilmiah.  Karenanya, nilai dari ilmu sebenarnya terletak pada penerapannya. Ilmu mengabdi kepada masyarakat sehingga ia menjadi sarana kemajuan. Boleh saja orang mengatakan bahwa ilmu itu mengejar kebenaran dan kebenaran itu merupakan inti etika ilmu, tetapi jangan dilupakan bahwa kebenaran itu ditentukan oleh derajat penerapan praktis dari ilmu. 
Ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteksnya, dan agamalah yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yakni memahami realitas alam, dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan “melulu” pada praxis, pada kemudahan-kemudahan material duniawi. Solusi yang diberikan oleh alquran terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur yang semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat kepada manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudharat.
Berdasarkan sejarah tradisi Islam, ilmu tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali, tapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan “melulu” untuk mendesak kemanusiaan, tetapi kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Sang Pencipta.
E.    Penutup
Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan dan nilai merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Kalaupun di awal pertumbuhannya dogma agama membuat ilmu gerah dan ingin melepaskan diri, hal ini tentu tidak berarti bahwa ilmu dapat berjalan sendiri tanpa nilai. Namun, bukan berarti pula nilai agama memberikan batasan berlebihan pada ilmu sehingga ilmu tak diberi kesempatan untuk berkembang.
Karenanya, saya menyimpulkan bahwa ilmu terutama dalam penerapannya di masyarakat harus memperhatikan nilai-nilai yang terkait dengannya. Ilmu tak boleh lepas begitu saja dan membiarkan ia berkembang tanpa memberikan implikasi positif bahkan berdampak negatif bagi kesejahteraan umat manusia. Perlu disadari bahwa kemajuan ilmu pengetahuan harus diiringi dengan kesejahteraan dan kemudahan yang dapat dirasakan manusia tanpa mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri. Masa depan ilmu yang sesuai tujuan mulianya sangat bergantung pada kesadaran dan kemauan manusia untuk memperhatikan nilai-nilai ketika menerapkan ilmu tersebut. 

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Yatimin, Pengantar Studi Etika. Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2006.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu. Jakarta, RajaGrafindo Persada, cet ke-10, 2011.
Frondizi, Risieri, What is Value. diterjemahkan oleh Cuk Ananta Wijaya, Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet ke-1, 2001.
http://munzaro.blogspot.com/2011/07/problematika-nilai-dalam-ilmu.html diakses pada 14 Desember 2011
S. Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, cet ke-11, 1998.
S. Suriasumantri, Jujun, Ilmu dalam Perspektif. Jakarta, Gramedia, cet ke-4, 1983.
www.scribd.com/doc/50233111/NILAI-KEGUNAAN-ILMU diakses pada 14 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu komen, saran, dan kritiknya...
Syukron ^,^