Rabu, 23 Mei 2012

Pelajaran Sempurna

Dengan perasaan kesal ku hampiri bus jurusan Jakarta-Bogor di ujung terminal itu. Bagaimana tidak, tugas mengambil proposal yang seharusnya dilakukan oleh Bayu terpaksa diserahkan padaku dengan alasannya yang masih berat ku terima. Bayu berdalih bahwa ia tak bisa pergi karna teman satu kosnya sedang sakit dan tak  ada teman lain yang menemaninya. Memang masuk akal sih alasannya, tapi buatku
masih ada solusi untuk masalah itu. Lagipula, mengambil proposal dengan jarak Jakarta-Bogor tak akan menghabiskan waktu hingga seminggu. Hmm, sudahlah, aku tak ingin su’uzhon terlalu panjang karna memang begitulah seorang Bayu.
Terkadang, ia begitu baik pada orang lain hingga rela mengorbankan kepentingannya sendiri. Jika sudah begitu, bayu pasti berkata “Inilah yang dinamakan itsar, akh!. Pengorbanan ana belum apa-apa jika dibandingkan itsarnya kaum Anshar pada kaum Muhajirin di zaman Rasulullah”. Dan akhirnya aku hanya bisa mengangguk pasrah mendengar kalimat terakhirnya. Tak ada untungnya juga berdebat dengannya, karna ia takkan bergeming dengan keputusan yang telah diambilnya. “Anggap saja sekalian jalan-jalan”, damai batinku kemudian. 
Bis yang kumasuki ternyata telah dipenuhi penumpang dari berbagai profesi dan usia. Tak kudapati bangku kosong, sehingga dengan terpaksa aku harus rela berdiri berdesakan bersama penumpang lainnya, entah sampai kapan. Tak jarang badanku harus maju mundur jika sopir tiba-tiba ngerem mendadak karna ada penumpang yang akan naik.
“Hufh, bisnya udah penuh nih, masa mo nambah penumpang lagi sih. Udah berdiri, ditambah harus mencium berbagai aroma yang menyatu lagi.” batinku berontak.
Tiga puluh menit sudah ku berdiri di bis ini. Lumayan juga sih pegalnya kaki plus hidung yang udah tidak tahan karna harus menahan nafas. Maklum saja, angin sejuk yang masuk dari jendela bis malah membuat aroma-aroma tak sedap bertebaran di sekitarku.
Tak lama, seorang ibu yang duduk di samping tempatku berdiri menghentikan bis dengan teriakannya. Dengan sigap, aku segera mengambil alih tempat duduk walau harus di awali dengan perebutan bersama seorang bapak. Namun, ku tak mau mengalah karna aku tak tau apakah akan sanggup bertahan jika sampai Bogor dalam keadaan berdiri di bis ini.
“Akhirnya, ku rasakan juga nikmatnya duduk.. Hehe…” Q tersenyum puas telah memenangkan perebutan singkat tadi. Sembari menikmati nikmatnya duduk, ke edarkan pandangan ke seluruh penjuru bis dan tak lupa mengamati perilaku-perilaku para penumpang.
Di pojok kanan depan terlihat seorang wanita yang tampak gelisah menutupi bagian pahanya dengan tas karena rok mini yang terlihat ketat. “Hmm, siapa suruh mbak, menyusahkan diri sendiri. Wong agama kita sudah memberikan syariat yang memudahkan kok malah mencari yang merepotkan”. Komentar pedas bergelitik di hatiku.
Di kursi sebelahku lain lagi, seorang pria muda yang duduk di sebelah jendela. Sejak aku masuk bis hingga detik ini, tanpa bosan-bosannya, ia terus berbicara dengan seseorang di ujung telepon. Inilah salah satu dampak buruk kemajuan teknologi, interaksi terhadap orang yang berada jauh justru lebih dipilih daripada berhubungan dengan orang yang ada di hadapan.
Adapun di hadapanku, seorang ibu yang masih berdiri sibuk menghentikan tangis sang anak yang tak kunjung reda. Perasaan iba mulai muncul dalam diriku, tapi apa yang bisa ku lakukan. Aku hanya seorang pemuda belum menikah yang tak mengerti caranya menghentikan tangis anak kecil. 
Tiba-tiba, pemuda ceking yang duduk di kursi di samping jendela di depan si ibu, menoleh  dan mempersilahkan si ibu untuk duduk, sementara ia masih duduk seolah menunggu jawaban si ibu untuk menerima tawarannya atau tidak. Namun jawaban sang ibu sungguh membuatku aneh.
“Jangan nak, ibu berdiri saja.” tolak si ibu. Padahal bagiku, wajar saja yang dilakukan pemuda itu dan jika aku menjadi si ibu tentu akan segera menerima tawarannya.
“Tidak apa-apa bu, lagipula mungkin anak ibu merasa kepanasan. Kalo duduk disini, ia pasti lebih tenang.” tawar si pemuda lagi.
Berkali-kali si pemuda menawari, berkali-kali pula si ibu “memaksa” si pemuda untuk tetap duduk di kursinya. Bahkan, ibu itu tetap menolak walaupun sang anak sudah terlihat gelisah sejak tadi.
“Ah si ibu, kalau aku sih nggak akan menolak tawaran pemuda itu, lagipula ia masih muda, jadi pasti kuat dong berdiri sepanjang perjalanan.” Hati ku ikut berbisik.
Sang pemuda terus mendesak dan akhirnya si ibu pun luluh. Sang pemuda pun beranjak dari tempat duduknya dengan perlahan. Saat melihat ia berusaha untuk berganti tempat dengan si ibu, aku terpana. Aku tak percaya apa yang ku lihat di hadapanku kali ini. Ternyata, pemuda itu hanya memiliki sebuah kaki. Dengan bantuan sebuah tongkat, ia berusaha menahan keseimbangan tubuhnya tanpa kaki yang menyangga. Aku tak dapat berkata apa-apa menyaksikannya. Sesungguhnya, bukan keadaannya yang membuatku takjub, tapi justru sikap yang baru ditunjukkannya lah yang membuatku terkagum. Inikah yang namanya itsar yang selalu di gaung-gaungkan Bayu. “Suatu saat anta akan merasakan bahwa berkorban untuk orang lain itu perlu keikhlasan besar akh, dan ana sedang belajar untuk bisa seikhlas itu.”
Sungguh, pemuda yang tak sempurna fisiknya itu telah rela mengorbankan kenyamanannya demi orang lain. Mungkin, itsar yang baru saja dilakukannya belum sehebat itsar yang dilakukan para sahabat Nabi. Namun bagiku, hari ini ia telah mengajarkan ku sesuatu yang sempurna dari fisiknya yang tak sempurna.




1 komentar:

  1. subhanallah... merinding an ngebaca.a..
    ini cerpen bikinan pian kah ukh? huaaa keeeereeennn ^_^

    BalasHapus

Ditunggu komen, saran, dan kritiknya...
Syukron ^,^