Kamis, 10 Mei 2012

Rasional dan Tradisional dalam Pemikiran Kalam


A.    Pengertian dan Ciri-ciri Rasional dan Tradisional
Pembicaraan mengenai rasional dan tradisional sudah sering kita dengar dalam pemikiran Islam pada umumnya.
Kedua istilah tersebut tidak hanya digunakan dalam ilmu kalam tapi juga dalam ilmu lainnya, seperti dalam ilmu fiqih, dan sosiologi.
Istilah tradisional dan rasional dalam bidang ilmu kalam memiliki ciri-ciri tersendiri. Dalam ilmu kalam, kelompok yang termasuk rasional adalah aliran yang menganut paham atau pemikiran teologi yang banyak mengandalkan pada kekuatan rasio. Mereka mengatakan bahwa akal mempunyai daya yang kuat serta memberikan interpretasi secara liberal terhadap teks ayat-ayat Alquran dan Hadis. Dengan demikian timbullah pemikiran liberal. Interpretasi secara liberal dalam ilmu kalam dilakukan oleh aliran Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand. Penganut-penganut teologi ini hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas lagi tegas disebut dalam ayat-ayat Alquran dan Hadis, yaitu teks ayat-ayat Alquran dan hadis yang tidak dapat diinterpretasikan lagi kepada arti lain. Ayat-ayat yang dianggap mempunyai arti qath’i ini tidak banyak terdapat di dalam Alquran. Dengan demikian geraknya dalam menyesuaikan hidup dengan peredaran zaman dan perubahan kondisi dalam masyarakat bagi para penganutnya adalah luas. Para penganutnya tidak banyak menemui kesulitan-kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam masyarakat dan teknologi modern. Dengan kata lain bahwa dalam masyarakat yang menganut teologi liberal dan rasional, kemajuan dan pembangunan dapat lebih lancar. Teologi rasional dengan keadaannya yang banyak berpegang pada logika akan lebih sesuai dengan jiwa dan pemikiran kaum terpelajar.
Adapun penganut teologi tradisional mengambil sikap terikat tidak hanya pada dogma-dogma, tetapi juga pada ayat-ayat yang mempunyai arti Zanni, yaitu ayat-ayat yang boleh mengandung arti yang lain dari arti leterlek yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian para penganut teologi ini sukar dapat mengikuti perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat modern. Mereka berpegang teguh pada arti harfiah dari teks ayat-ayat Alquran dan Hadis, ditambah dengan kurang menggunakan logika, dan kurang sejalan dengan jiwa dan pemikiran kaum terpelajar. Selain itu, teologi ini juga banyak berpegang kepada wahyu di dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam memecahkan masalah, mereka terlebih dahulu berpegang kepada teks wahyu dan kemudian membawa argumen-argumen rasional untuk teks wahyu tersebut.
B.    Teologi Bercorak Rasional
Aliran-aliran yang bercorak teologi rasional di anut oleh kaum Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand.
Dalam sejarah, Mu’tazilah timbul berkaitan dengan kasus Washil Ibn ‘Atha yang lahir di Madinah pada tahun 700 M dengan Al-Hasan Al-Basri. Washil sering mendengar kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan al-Basri di Bashrah. Suatu ketika Washil menyatakan pendapat bahwa ia tidak setuju dengan paham kaum Khawarij yang menyatakan bahwa orang mukmin yang berdosa besar menjadi kafir, dan paham kaum Murji’ah yang menyatakan bahwa orang mukmin yang berdosa besar masih tetap mukmin. Menurut Washil bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar itu bukan kafir dan bukan pula mukmin, tetapi mengambil posisi di antara posisi kafir dan mukmin, dan kalau orang yang demikian bertobat sebelum meninggal, ia akan masuk surga. Tetapi kalau tidak sempat bertobat, ia akan masuk neraka untuk selama-lamanya. Dengan kata lain jika orang Islam berdosa besar, kemudian mati dengan tidak sempat bertobat maka nasibnya di akhirat akan sama dengan orang kafir, yaitu masuk neraka selama-lamanya.
Washil dengan pendapatnya yang berbeda dengan pendapat al-Hasan al-Basri kemudian membentuk aliran teologi yang kemudian dikenal dengan nama mu’tazilah. Ajaran-ajaran pokok mu’tazilah dikenal dengan nama Pancasila Mu’tazilah atau al-Ushul al-Khamsah, yakni:
1.    Al-Tauhid
Al-Tauhid atau ke-Maha Esaan Tuhan adalah merupakan ajaran dasar yang terpenting bagi aliran Mu’tazilah. Tuhan bagi mereka, baru dapat dikatakan benar-benar Maha Esa, kalau Ia merupakan suatu zat yang unik dan tidak ada yang menyerupai-Nya. Karena itu dalam mentauhidkan Tuhan, aliran Mu’tazilah menentang cara-cara anthtropo-morphisme, yaitu suatu paham yang membayangkan Tuhan sebagai yang mempunyai jisim sebagaimana manusia. untuk menghindari paham ini, mu’tazilah melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran yang Zhanni dengan cara metaphora atau kiasan seperti yadullah (tangan Allah) mereka artikan kekuasaan Allah dan wajhullah (wajah Allah) dengan keridhaan Allah.
Paham ke-Esaan Tuhan ini dimaksudkan untuk memurnikan Zat Tuhan dari persamaan dengan makhluk-Nya. Dalam paham ini terlihat betapa kuat pengaruh akal dalam pemikiran mereka. Hal ini dapat menjadi salah satu indikasi bahwa aliran Mu’tazilah pantas disebut sebagai salah satu aliran yang bercorak rasional.
2.    Al-Adl
Paham keadilan yang dikehendaki oleh Mu’tazilah adalah bahwa Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia dan manusia dapat mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya dengan kekuasaan yang ditetapkan Tuhan pada diri manusia itu. Bagi kaum Mu’tazilah, perbuatan manusia itu diwujudkan oleh manusia sendiri. karena itu, tidaklah adil jika Tuhan menyiksa manusia karena perbuatan dosanya, sementara perbuatan dosanya itu dilakukan karena diperintah oleh Tuhan. Tuhan baru dapat disebut adil jika menghukum orang yang berbuat buruk atas kemauannya sendiri.
3.    Al-Wa’ad wa Al-Wa’id
Ajaran ini sebagai kelanjutan dari ajaran keadilan di atas. Aliran Mu’tazilah yakin bahwa janji Tuhan berupa pemberian pahala dan ancaman kepada manusia, pasti terjadi dan tidak bisa tidak. Barangsiapa yang melakukan kebaikan berhak mendapat surga atau pahala, sedangkan bagi yang melakukan keburukan akan mendapat siksa dan ini pasti terjadi. Dalam hal ini Tuhan tidak dapat berbuat lain kecuali melaksanakan janji-Nya. Sebagai realisasi dari pelaksanaan janji-Nya itu, Mu’tazilah berpendapat bahwa pengampunan bagi orang yang berbuat dosa besar tanpa taubat tidak ada, sebagaimana juga tidak mungkin orang yang berbuat baik dihalang-halangi menerima pahala. Menurut mereka, Tuhan tidak dapat disebut adil, jika Ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik atau tidak menghukum orang yang berbuat buruk.
Dalam paham ini, terlihat betapa besarnya peranan manusia dan akal menurut kaum Mu’tazilah, dalam memecahkan masalah, sehingga ada kesan seolah-olah manusia dan akallah yang mengatur kekuasaan Tuhan. Paha ini dibangun oleh kaum Mu’tazilah untuk mensucikan perbuatan Tuhan dari tindakan atau perbuatan yang tidak sepantasnya terjadi pada-Nya. Menyalahi janji misalnya tidaklah pantas terjadi pada Tuhan, sebab kalau itu terjadi berarti Tuhan ternoda perbuatan-Nya. Jadi, di balik argumen-argumen rasionalnya itu terkandung maksud baik dari kaum Mu’tazilah.
4.    Al-Manzilah bain al-Manzilatain
Al-Manzilah bain al-Manzilatain secara harfiah berarti posisi di antara dua posisi, dan menurut Mu’tazilah bahwa yang dimaksud ungkapan itu adalah suatu tempat yang terletak di antara surga dan neraka. Ajaran ini dinilai sangat penting, karena dengan ajaran ini, Washil bin Atha’ rela memisahkan diri dari Hasan al-Basri sebagai gurunya. Washil berpendirian bahwa orang yang berbuat dosa besar selain syirik, juga tidak termasuk mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasiq. Kefasiqan itu berada di antara iman dan kafir. Demi melaksanakan keadilan Tuhan dan janji-Nya itu, orang fasiq tidak dapat masuk surga karena ia dianggap bukan mukmin dan tidak pula ia dimasukkan ke dalam neraka, karena bukan kafir. Untuk melaksanakan keadilan Tuhan, orang yang seperti itu harus ditempatkan di antara surga dan neraka. Tetapi karena di akhirat tidak ada tempat lain, kecuali surga dan neraka, maka orang fasiq itu harus dimasukkan ke dalam neraka, yang keadaannya berbeda dengan neraka yang diterima oleh orang kafir.
Dalam ajaran keempat ini terlihat betapa kuatnya pengaruh akal dalam membangun pemikiran-pemikirannya. Hal ini semakin menambah kejelasan bahwa Mu’tazilah memang pantas disebut sebagai kaum rasional.
5.    Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar Ma’ruf Nahi Munkar berarti perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat. Ajaran seperti ini sebenarnya bukan hanya dianut oleh kaum Mu’tazilah, tetapi juga oleh golongan lain. namun perbedaannya dengan golongan lain terletak pada cara pelaksanaannya. Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa dalam keadaan normal pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar itu cukup dengan seruan saja, tetapi kalau dalam keadaan tertentu amar ma’ruf nahi munkar itu perlu dengan kekerasan. Dalam sejarah memang terbukti bahwa kaum Mu’tazilah menggunakan kekerasan dalam menyiarkan ajaran itu. Namun di balik kekerasan yang pernah dilakukannya itu terdapat maksud baik, dan kondisi social memang menghendaki demikian.
Kelima ajaran Mu’tazilah ini jika dianalisa, maka akan nampak betapa kuatnya pengaruh akal atas rasio, dalam ajaran tersebut hal ini menjadi bukti kerasionalan aliran ini.
Pandangan rasional kaum Mu’tazilah juga dapat dilihat pada uraian mengenai kedudukan akal dan wahyu. Dalam hal ini ada empat hal yang diperdebatkan oleh aliran-aliran dalam ilmu kalam, yaitu tentang mengetahui Tuha, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan jahat serta mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat. Keempat masalah ini menurut Mu’tazilah dapat diketahui oleh akal.
Dengan mengemukakan sebagian dari pandangan dan pemikiran kaum Mu’tazilah, jelas terlihat betapa dominannya peranan rasio yang mereka gunakan dalam membangun pemikirannya. Selain itu Mu’tazilah dalam mengembangkan ajarannya nampak bertolak dari kepentingan manusia. paham teologi Mu’tazilah yang rasional dan memihak pada kepentingan manusia itu nampaknya lebih sesuai dengan kaum terpelajar.
Teologi yang bercorak rasional selanjutnya diperlihatkan oleh Maturidiah Samarkand. Aliran ini dibangun oleh Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud al-Maturidi yang lahir di Samarkand pada pertengahan kedua dari abad ke-9 M dan meninggal di tahun 944 M. mengenai riwayat hidupnya kurang banyak diketahui, namun ada yang mengatakan bahwa ia termasuk pengikut Abu Hanifah, dan paham teologinya memiliki persamaan dengan paham teologi yang dimajukan Abu Hanifah itu. Teologinya ini kemudian termasuk dalam teologi ahli sunnah yang kemudian dikenal dengan nama al-Maturidiah. Dimasukkannya Maturidiah Samarkand sebagai aliran bercorak rasional disebabkan karena pemikiran teologinya itu lebih dekat kepada Mu’tazilah.
Namun dalam masalah sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan antara al-Asy’ari dan Al-Maturidi. Bagi Maturidi, Tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan mengetahui bukan dengan zat-Nya, tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan berkuasa bukan dengan zat-Nya, tetapi dengan qudrat-Nya. Dalam soal perbuatan manusia, al-Maturidi sependapat dengan golongan Mu’tazilah yang mengatakan bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Maturidi Samarkand juga sejalan dengan Mu’tazilah dalam hal al-wa’ad wa al-wa’id. Menurut mereka, janji-janji dan ancaman-ancaman Tuhan tak boleh tidak mesti terjadi kelak. Demikian pula dalam soal anthropomorphisme, al-Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah.
Selain itu, menurut al-Maturidi akal dapat mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan jahat dan  kewajiban mengetahui yang baik dan jahat sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Dengan mengemukakan beberapa pendapat Maturidiah Samarkand tersebut, teranglah bahwa Maturidiah Samarkand dapat dikategorikan sebagai aliran yang bercorak rasional.
C.    Teologi Bercorak Tradisional
Aliran bercorak teologi tradisional dianut oleh kaum Asy’ariyah dan Maturidiah Bukhara. Teologi Asy’ariyah dibangun oleh Abu Hasan Ali ibn Ismail Asy’ari yang lahir di Bashrah pada tahun 873 M dan wafat di Baghdad pada tahun 935 M. pada mulanya ia adalah murid al-Jubbai dan termasuk salah seorang yang terkemuka dalam golongan Mu’tazilah.
Tetapi oleh sebab-sebab yang tidak begitu jelas, walaupun al-Asy’ari telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah akhirnya meninggalkan ajaran tersebut. Sebab yang biasa diterima yakni pendapat yang mengatakan bahwa suatu malam al-Asy’ari bermimpi. Dalam mimpinya itu Nabi Muhammad SAW, mengatakan kepadanya bahwa mazhab ahli hadislah yang benar dan mazhab Mu’tazilah salah. Sebab lain bahwa al-Asy’ari berdebat dengan gurunya, al-Jubbai, dan dalam perdebatan itu sang guru tidak dapat menjawab pertanyaan murid. Terlepas dari sebab-sebab itu, ajaran al-Asy’ari muncul sebagai alternative yang menggantikan kedudukan ajaran Mu’tazilah yang sudah mulai ditinggalkan orang sejak zaman al-Mutawakkil. Adapun ajaran-ajaran dalam aliran ini diantaranya:
1.    Sifat Tuhan
Sebagai penentang Mu’tazilah, al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuha mempunyai sifat. Menurutnya, mustahil Tuhan mengetahui dengan zat-Nya, karena paham demikian membawa kepada kesimpulan bahwa zat Tuhan itu adalah pengetahuan-Nya, dan dengan demikian Tuhan sendiri menjadi pengetahuan. Padahal Tuhan bukanlah pengetahuan (‘ilm) tetapi yang Maha Mengetahui (‘alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuan itu bukanlah zat-Nya. Semua ini sejalan dengan keterangan ayat-ayat al-Quran yang umumnya dipahami oleh para mufassir.
2.    Dalil adanya Tuhan
Apa sebabnya manusia harus percaya adanya Tuhan? Mu’tazilah menjawab karena akal kitalah yang menyimpulkan bahwa Tuhan itu ada. Sedangkan al-Asy’ari menjawab bahwa kita wajib meyakini Tuhan karena kita diajari oleh Nabi Muhammad SAW bahwa Tuhan itu ada, dan hal itu dinyatakan dalam al-Quran. Tegasnya, kita wajib percaya pada adanya Tuhan karena diperintahkan oleh Tuhan dan perintah ini kita tangkap dengan akal. Dengan demikian Asy’ariyah lebih menekankan pada fungsi wahyu daripada akal. Jadi menurut aliran ini, akal itu bukanlah sumber (seperti kata Mu’tazilah) tetapi hanya sebagai alat atau penguat wahyu.
3.    Perbuatan manusia
Al-asy’ari menolak paham qadariah yang menegaskan bahwa perbuatan manusia itu sungguh-sungguh perbuatannya. Ia juga menolak paham jabariah yang mengatakan bahwa perbuatan manusia itu dipaksa atau dikendalikan oleh Tuhan. Sebagai jalan keluar, al-Asy’ari mengajukan paham kasab yang sangat sulit dimengerti, kecuali bila paham kasab itu dipandang sebagai usaha untuk menjauhi jabariah dan qadariah.
Kasab menurut al-Asy’ari bukanlah berarti usaha atau perbuatan, tetapi perolehan. Ia menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia, dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasab baginya. Perbuatan-perbuatan manusia bukanlah diwujudkan oleh manusia sendir, tetapi diwujudkan oleh Tuhan, perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan itulah yang diperoleh manusia, dan kasab atau perolehan itupun diciptakan oleh Tuhan. Dari uraian tersebut, terlihat bahwa al-Asy’ari sebenarnya adalah penganut jabariah. Dengan paham kasabnya itu ia nampaknya ingin menolak paham jabariah, namun setelah melalui jalan berbelit-belit, akhirnya ia kembali kepada jabariah juga.
4.    Pemakaian Akal
Al-Asy’ari mengingkari orang-orang yang berlebih-lebihan dalam menggunakan akal pikiran, seperti pada golongan Mu’tazilah. Al-Asy’ari kelihatannya ingin memakai wahyu dan akal secara seimbang dalam membahas soal-soal agama, namun wahyu Nampak lebih diutamakan daripada akal. Akal hanya berfungsi sebagai alat untuk memperkuat apa yang telah ditegaskan oleh wahyu.
Pemakaian akal ini akan dapat dilihat dalam mengomentari empat masalah di atas, yaitu: mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan jahat serta kewajiban mengetahui yang baik dan jahat.  Dari keempat masalah tersebut hanya satu yang dapat diketahui akal, yaitu mengetahui Tuhan sedangkan tiga lainnya harus dengan perantaraan wahyu.  Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat pula mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Hanya kepada wahyulah dapat diketahui bahwa orang yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh kepada-Nya akan mendapat hukuman.
Dari uraian di atas, nampak bahwa dalam paham Asy’ariah segala sesuatunya serba Tuhan, serba wahyu dan sangat sedikit menggunakan akal pikiran. Karenanya, paham teologi Asy’ariah ini nampak sangat kuat berpegang pada wahyu dan bercorak theo-sentris dan segalanya bermula dan berpusat pada Tuhan. Dengan demikian memang beralasan jika teologi Asy’ariah dikategorikan sebagai aliran yang bercorak tradisional dan kurang sejalan dengan pemikiran modern yang menuntut dan menghendaki agar manusia bersikap kreatif.
Paham tradisional selanjutnya dianut oleh Maturidiah Bukhara. Maturidiah Bukhara adalah pengikut Al-Bazdawi. Ia menerima ajaran-ajaran Maturidi dari orang tuanya. Ia selanjutnya mempunyai murid-murid, yang salah seorang di antaranya adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 M), pengarang kitab al-Aqaid al-Nasafiah. Dalam paham teologinyaa, al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan al-Maturidi. Antara Maturidi Samarkand dan Maturidi Bukhara terdapat perbedaan yang berkisar pada persoalan kewajiban mengetahui Tuhan. Jika Maturidi Samarkand mewajibkan mengetahui Tuhan dengan akal, sedangkan Maturidi Bukhara tidak demikian halnya karena menurutnya kewajiban mengetahui Tuhan dapat dicapai dengan wahyu. Demikian pula kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi perbuatan yang jahat, tidak dapat diketahui dengan akal, melainkan harus dengan wahyu.
Dengan demikian, dari keempat hal tersebut di atas yang dapat diketahui akal hanya dua, yaitu mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan jahat. Sedangkan yang dua lainnya yaitu kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi perbuatan yang jahat hanya dapat diketahui melalui wahyu. Dengan demikian, wahyu dalam paham Maturudi cabang Samarkand mempunyai fungsi yang kurang lebih daripada wahyu dalam paham Bukhara. Wahyu bagi golongan pertama perlu hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk, sedang menurut pendapat gooongan kedua wahyu perlu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia.
Selanjutnya, sebagaimana dalam paham Asy’ariah, Maturidi Bukhara pun mempunyai paham bahwa Tuhan mempunyai sifat, dan menganut paham jabariah, yakni bahwa yang menentukan perbuatan manusia adalah Tuhan. Dengan memperhatikan uraian tersebut menjadi jelaslah bahwa Maturid Bukhara dapat digolongkan ke dalam paham teologi yang bercorak tradisional.

Hasil Resuman Bab IV “Rasional dan Tradisional dalam Pemikiran Kalam” dari buku:
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet ke-4, 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu komen, saran, dan kritiknya...
Syukron ^,^