Kamis, 10 Mei 2012

Respon terhadap Kajian Orientalis

A.    Pendahuluan
Orientalisme, secara etimologi berasal dari kata ‘orient’ yang berarti timur dan sebagai lawan kata occident yang berarti Barat.  Secara etnologis berarti bangsa-bangsa yang ada di timur sedangkan secara geografis bermakna hal-hal yang bersifat ketimuran.  Dengan demikian,
orientalisme adalah hal-hal yang berhubungan dengan masalah ketimuran, dan secara khusus orientalisme adalah scholarship or learning in oriental subject, kesarjanaan atau pengkajian dalam bidang-bidang kajian ketimuran.  Adapun secara terminologi, orientalisme dimaknai sebagai suatu cara atau metode yang digunakan untuk memahami dunia Timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat,  atau dapat pula dipahami sebagai suatu gaya berpikir yang dipakai berlandaskan pada pembedaan ontologis dan epistimologis yang dibuat antara Timur dan Barat.
Beragam bacaan memaparkan motivasi atau faktor yang melatarbelakangi lahirnya orientalisme di kalangan para pemikir Barat. Motivasi utama munculnya upaya ini adalah ‘kekaguman’ Barat akan Islam yang sejak kemunculannya di awal abad ke-7 Masehi telah mendominasi dunia dengan beragam keberhasilan dan kegemilangan dari berbagai aspek yang dicapainya. Atau, dalam ungkapan lain sebagaimana yang pernah dipaparkan oleh Bernard Lewis bahwa usaha-usaha yang dilakukan Barat dalam penyelidikan terhadap Timur selalu berawal dari ‘rasa ingin tahu intelektual’. Motivasi lainnya yang tak kalah penting adalah kebutuhan para penjajah yang merupakan negara-negara besar Eropa seperti Spanyol, Portugal, Inggris, Italia dan Prancis untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dalam masyarakat yang menjadi jajahannya.
Dengan demikian, lengkaplah sudah motivasi kemunculan orientalisme yang berawal dari kekaguman sekaligus keheranan yang kemudian dilengkapi dengan keinginan untuk terus menguasai tanah jajahan dengan mengetahui banyak hal yang ada dalam masyarakat tersebut. Dalam makalah ini kami akan mencoba memaparkan respons-respons atau tanggapan-tanggapan yang mengemuka seiring dengan upaya penyelidikan dunia Timur oleh Barat. Tanggapan-tanggapan berikut ini akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu tanggapan yang muncul dari kalangan Barat sebagai pelaku orientalisme dan tanggapan yang berasal dari kalangan Timur sebagai objek kajian orientalisme yang dilakukan Barat.
B.    Respon Non Muslim Terhadap Orientalis
1.    Ekstrem
a.    Edward Said
Perbincangan mengenai Orientalisme menjadi semakin ramai terutama sejak Edward Said, seorang Kristen Palestina dan aktivis PLO di Amerika, menulis buku berjudul Orientalisme. Dalam buku ini, Said memaparkan secara panjang lebar hakikat Orientalisme itu, yang baginya secara keseluruhan tidak lebih dari alat penjajah bangsa-bangsa Barat atas bangsa-bangsa Timur khususnya Timur-Islam. Gugatan yang paling mendasar dari Said muncul dalam penolakannya terhadap istilah Orientalisme, atau ketimuran. Menurutnya apa yang dikatakan Timur bukanlah sesuatu yang alami atau ada dengan sendirinya. Dalam istilah Said, Timur (Orient) adalah imaginative geography yang diciptakan secara sepihak oleh Barat. Kemudian menjadi salah satu praktek orientalis untuk membedakan identitas Timur dengan Barat dalam bata-batas teritorialnya yang tegas (meski edikit imajiner), tanpa peduli apakah Timur mengakui identitas Barat atau tidak. oleh Barat, Timur dianggap sebagai “ kawasan non jauh disana, yang eksotik, yang penuh denagn kenangan imaji-imaji dan janji-janji.”   Kriteria Timur yang tidak pernah jelas secara kategoris, kalaupun ada sesuatu yang menjadikan Barat-Timur berbeda, hal itu juga merupakan hasil konstruksi sepihak masyarakat Barat. Persoalan metodologis kemudian muncul ketika imajinasi Barat tentang Timur ini dinyatakan sebagai temuan yang bersifat obyektif dan netral. Untuk itu Said menganggap kajian Orientalisme selalu berkedok ilmiah dengan mengatasnamakan diri pada ilmu.
Dalam bukunya yang lain, Orientalism: Western Conceptions of The Orient, Edward Said mengatakan bahwa upaya-upaya penyelidikan yang dilakukan oleh kalangan orientalis telah melegitimasi negara-negara kolonial yang sebagian besarnya berasal dari Eropa untuk menjajah dan menancapkan kekuasaannya di dunia Timur. Lebih lanjut, menurut Said, kemunculan orientalisme yang melakukan penyelidikan dunia Timur dilatarbelakangi oleh tiga hal yang selama ini seakan disembunyikan. Yaitu: 
a.    Pertama, seorang orientalis adalah orang yang mengajarkan, menulis, atau meneliti tentang Timur yang mengklaim bahwa dirinya adalah orang yang memiliki pengetahuan dan memahami kebudayaan-kebudayaan Timur, baik sebagai seorang antropolog, sosiolog, sejarawan, maupun filolog.
b.    Kedua, orientalisme merupakan gaya berpikir  (mode of thought) yang mendasarkan pada pembedaan ontologis dan epistimologis yang dibuat antara Timur dan hampir selalu Barat.
c.    Ketiga, orientalisme merupakan institusi yang berbadan hukum yang dapat didiskusikan dan dianalisis untuk menghadapi dunia Timur, yang berkepentingan membuat pernyataan tentang Timur, membenarkan pandangan-pandangan tentang Timur, mendeskripsikannya, dengan mengajarkannya, memposisikannya sekaligus menguasainya. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa orientalisme adalah cara Barat untuk mendominasi, membangun kembali sesuai keinginan Barat dan menguasai semua yang ada di Timur.
Berdasarkan cara pandang Said dalam mengemukakan kritikannya terhadap orientalisme ini, maka dapat disimpulkan bahwa apa pun yang dihasilkan oleh penyelidikan Barat terhadap Timur (terutama Islam) hanya memberi manfaat bagi Barat. Hal ini karena upaya tersebut dilakukan untuk semakin menguatkan dominasi dan penguasaan Barat atas berbagai wilayah Timur lengkap dengan beragam sumber daya yang dimilikinya.
b.    Karel A. Steenbrink
Dalam beberapa karyanya, Steenbrink terlihat cukup tajam mengkritisi studi orientalisme. Menurutnya ada beberapa bias dalam studi orientalisme tersebut. Pertama, ambivalensi  dalam keberagamaan. Kedua, prasangka Kristen, Historisme, dan superioritas. Ketiga, bias kolonialisme. Hal inilah yang menjadi keprihatinan sekaligus kritisisme Steenbrink dalam melihat orientalisme dan dalam keterkaitannya dengan persoalan hubungan Islam dengan Barat.
2.    Moderat
a.    Gordon E. Pruett
Tokoh Barat lainnya yang memberi tanggapan terhadap orientalisme adalah Gordon E. Pruett yang berpendapat bahwa banyak orientalis yang memojokkan makna-makna Islam melalui operasionalisasi metodologi dunia. Kecenderungan umum yang terdapat pada tulisan orientalis adalah menganggap Islam sebagai fenomena obyektif. Dengan cara ini keyakinan Islam dan pandangan orang Islam sendiri tidak banyak diperhatikan, sehingga orientalis seringkali gagal memahami Islam secara lebih memadai.
b.    Bryan S. Turner
Selanjutnya juga ada Bryan S. Turner, pengamat sosiologi Islam ini melihat bahwa gambaran tentang Islam dan Timur dalam Orientalisme sangat bersifat eurosentris. Hal ini dikarenakan Islam merupakan kekuatan asing terbesar dalam masyarakat Barat yang nantinya menjadi semacam perbandingan bagi orang Barat sendiri. 
C.    Respon Muslim Terhadap Orientalis
Sedangkan tanggapan mengenai orientalisme yang muncul dari kalangan Islam dapat dibedakan dalam dua bagian. Yaitu, kalangan yang dengan tegas menolak kajian-kajian yang dilakukan oleh orientalis dan kelompok yang dapat menerima jika memberi manfaat bagi Islam.
1.    Kalangan yang dengan tegas menolak kajian-kajian yang dilakukan oleh orientalis
Salah seorang dari kelompok ini adalah Mazin bin Shalah Muthabaqani, seorang guru besar orientalisme di Arab Saudi. Penolakan yang dilakukan Muthabaqani ini didasarkan pada pengaruh-pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh orientalisme, baik dalam aqidah, sosial, politik-ekonomi, maupun budaya pemikiran.
Kalangan lainnya yang melakukan penolakan terhadap obyektivitas kajian orientalis ini muncul dalam bentuk nativisme (pandangan yang menyatakan bahwa natives atau pelaku adalah satu-satunya yang mengetahui tentang dirinya). Pandangan ini diantaranya dikemukakan oleh Mahmud Shakr yang berpendapat bahwa untuk dapat memahami Islam seseorang harus menjadi Muslim dahulu, karena Islam sebagai agama juga terekspresi dalam bentuk budaya dan bahasa. Pijakan ini mendorong Shakr untuk tidak melihat adanya kebenaran dalam karya orientalis tentang Islam maupun Arab. Baginya, orientalis yang berlatar belakang budaya Barat dan beragama non Islam tidak mungkin dapat mengerti tentang Islam.  Misalnya dalam memandang Rasul, selama mereka mendustakan Rasul, mengapa justru mereka yang menyalahkan perbuatan Rasul. Mereka bukan menilainya dalam kerangka sebagai seorang Rasul, tetapi menilai dan melihat perbuatan Rasul berdasarkan takaran manusia biasa,  sehinga mereka mudah mereka menyalahkan dan memburuk-burukkan.
Pandangan ini sebenarnya cukup umum di kalangan umat Islam. Kelebihannya adalah kemampuan Shakr untuk menerjemahkan penolakannya terhadap Barat dalam rumusan dan kaidah ilmiah. Di samping itu, Aijaz Ahmed juga menolak kajian-kajian orientalisme karena penyelidikan-penyelidikannya kemudian memunculkan dikotomi antara Barat dan Timur.
2.    Kalangan yang memberi tanggapan atas kajian orientalis
Mereka adalah kalangan yang dapat menerima jika upaya tersebut bermanfaat bagi Islam. Kalangan ini biasanya melandaskan pendirian dan penilaiannya mengenai orientalisme berdasarkan ilmu pengetahuan atau ilmiah. Menurut mereka, cukup banyak karya tulis kaum orientalis yang berisi informasi dan analisis obyektif tentang Islam dan ummatnya, karena memang tidak semua karya orientalis bertolak belakang dengan Islam melainkan hanya sebagian kecilnya saja. Salah satu contohnya adalah Maryam Jamilah yang menyatakan bahwa orientalisme tidak sama sekali buruk. Sejumlah pemikir besar di Barat, kata Jamilah, telah menghabiskan umurnya untuk mengkaji Islam lantaran mereka secara jujur tertarik terhadap kajian-kajian itu. Tanpa usaha mereka, banyak di antara pengetahuan berharga dalam buku-buku Islam kuno akan hilang tanpa bekas atau tidak terjamah orang. Para orientalis dari Inggris seperti mendiang Reynold Nicholson dan Arthur J. Arberry berhasil menulis karya penting berupa penerjemahan karya-karya Islam klasik sehingga terjemahan-terjemahan itu untuk pertama kalinya dapat dikaji oleh para pembaca di Eropa. Menurut Jamilah, pada umumnya para orientalis itu benar-benar menekuni pekerjaan penerjemahan ini.
Mereka yang cenderung membatasi cakupan pengkajiannya hanya pada deskripsi, kadang-kadang berhasil menulis buku-buku yang sangat bermanfaat, informatif dan membuka cakrawala pemikiran baru. Persoalan timbul pada saat mereka melangkah terlalu jauh dari batas-batas yang benar dan berusaha menafsirkan Islam dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Dunia Islam berdasarkan pandangan-pandangan pribadi yang tidak cocok. Contoh lainnya dari kalangan Islam kelompok kedua ini adalah Muhammad Abdul Rauf, yang tidak begitu saja menyamaratakan karya-karya orientalis Barat. Baginya tidak semua karya orientalis harus ditolak dan dianggap tidak berguna, sebab di antara mereka terdapat orientalis yang jujur (fair-minded orientalist). Rauf tidak menafikan adanya bias serta distorsi yang muncul dari kalangan orientalis.
Namun peristiwa semacam ini hanya terjadi jika orientalis yang menulis bersikap tidak jujur. Asaf Hussain, sependapat dengan Abdul Rauf bahwa sebagian orientalis memang bermaksud untuk mendiskreditkan Islam. Beberapa di antaranya adalah Duncan Mac Donald yang secara eksplisit menginginkan kehancuran Islam. Begitu juga dengan Guilbert de Nogent yang begitu tinggi keinginannya untuk menghancurkan Islam. Bahkan untuk tujuan ini, de Nogent secara terang-terangan merasa tidak perlu lagi menggunakan data untuk berbicara tentang Islam. Baginya berbicara apapun tentang Islam tetap sah adanya, sebab siapapun bebas berbicara tentang keburukan seseorang yang kejahatannya sudah melampaui kejahatan apapun di dunia. Jika demikian banyak kalangan sepakat bahwa orientalis seperti ini sudah keluar dari etika akademik dan keilmuan yang diakui secara universal, yang tujuannya tidak lain adalah untuk mendiskreditkan Islam.
D.    Contoh-Contoh Respon Muslim Terhadap Kajian Orientalis
1.    Al-Quran
Ignaz Goldziher di dalam bukunya yang mengkritik Alquran. Buku tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Arab oleh DR.Ali Hasan Abdul Qadir dan DR. Abdul Halim An-Najjar, di dalam buku Goldziher itu ia meragukan jaminan bahwa Alquran itu terpelihara dari kerancuan dan ketidak-konsistenan, sedangkan jaminan seperti itu tidak didapati pada kitab-kitab sebelumnya.  Padahal jika di bandingkan dengan kitab-kitab terdahulu maka Alquran lah yng paling bisa dikatakan lebih otentik karena beberapa hal, diantaranya:
•    Alquran ditulis pada saat Rasulullah masih hidup dengan larangan penulisan masalah lainnya yaitu hadis, sehingga kemungkinan adanya percampuaran adalah kecil, sedangkan perjanjian lama yang merupakan himpunan kitab ditulis selama lebih dari dua abad setelah musnahnya teks asli.
•    Alquran masih memakai bahas asli sejak wahyu diturunkan yaitu Arab bukna terjemahan, bagaimanapun terjemah telah mengurangi keotentikan suatu teks.
•    Materi Alquran tidak bertentangan dengan akal dan selalu relevan sepanjang masa, sementara Bibel mengandung banyak hal yang tidak masuk akal dan mengandung pornografi.
2.    Wahyu dan Rasul
Pada saat Nabi menerima wahyu, dalam beberapa cara penurunan wahyu wahyu diriwayatkan bahwa Nabi terlihat menggigil kedinginan dan keringatnya menetes-netes. Keadaan demikian disipulkan oleh Dr. Robert Morey bahwa Nabi menderita pnyakit ayan. Menurutnya, gejala-gejala itu nampak ketika Nabi tidak sadarkan diri, keringatnya mengucur disertai kejang-kejangan dan busa yang keluar dari mulutnya.  Ketika ia sadar dari ayannya ia berkata bahwa itu turunnya Alquran, itu hadis Qudsi, dan lain-lain.  Lalu ia membacakan apa yang disebutnya wahyu Tuhan itu kepada orang-orang yang mempercayainya.  Mereka katakana semua itu adalah hasil dari igauannya ketika penyakit ayannya kambuh.
Menggambarkan keadaan Nabi Muhammad pada saat menerima wahyu dengan sperti itu dari segi ilmiah sangatlah salah.  Apakah orang yang siuman setelah penyakit ayannya kambuh masih bisa ingat bahkan hafal apa yang terjadi pada waktu  tidak sadarkan diri itu.  Penyakit ayan tidak akan meninggalkan suatu bekas yang dapat diingat oleh si penderita selama masa terjadinya itu. Bahkan setelah ia sadr pun ia lupa apa yang terjadi dan apa yang dilakukannya saat itu.
Padahal saat menerima wahyu beliau sangat tenang, penuh kemantapan dan pengendalian diri tanpa sedikitpun terlihat gelisah. Beliau tidak berkata sepatah kata pun atau melakukan gerak-gerik yang aneh. Apabila sudah selesai maka dengan mantap dan tenang beliau sampaikan apa yang diterimanya. Kadang-kadang wahyu yang disampaikan itu relatif panjang ayatnya sehingga butuh waktu yang lama untuk membacakan dan menyampaikannya, kemudian wahyu itu diulanginya lagi saat shalat. Oleh karena itu tak diragukan lagi bahwa kemampuan beliau membaca dan mengulang kembali kalimat yang persis serupa dengan apa yang di catat oleh penulis wahyu adalah hal yang diluar batas kemampuan manusia yaitu wahyu.
3.    Hadis
Seorang orientalis bernama Ignaz Goldziher menuding bahwa hadis bukanlah berasal dari Nabi Muhammad SAW namun dianggap sebagai buatan kaum muslimin pada abad ke-II dan ke-III hijriah. Dasar adanya anggapan tersebut menurutnya adalah tidak adanya peninggalan tertulis yang menunjukkan bahwa hadis dipelihara dengan sadar dengan cara “diturunkan” secara tertulis dari generasi ke generasi, hingga ke permulaaan abad kedua hijriyah, ketika imam Ibn Syihab al-Juhri mulai menuliskan teks-teks hadis.
Akan tetapi, anggapan Goldziher yang menyatakan bahwa hadis adalah buatan kaum muslimin pada abad kedua dan ketiga hijriah dapat dibantah oleh M.M Azami dengan berbagai penelitian. Azami mengerahkan data-datanya untuk membuktikan bahwa di masa sahabat dan tabi’in bahkan di masa Nabi, hadis sudah ditulis. Pertama, harus diingat bahwa budaya tulis menulis di masa kelahiran Islam tidaklah seminim seperti diduga. Terdapatnya sekitar 50 orang sekretaris Nabi, dengan bermacam spesialisasi, semua itu tak memungkinkan periwayatan hadis hanya dilakukan secara lisan. Dan ini dibuktikan oleh tulisan-tulisan hadis di kalangan sahabat sendiri, setidaknya dalam bentuk surat maupun lembaran lepas, seperti Rafi’, mantan sahaya Nabi, Abu Hurairah, Ubay bin Ka’ab, dan lain-lain.
Selain itu melalui penelitiannya, Azami juga menemukan naskah-naskah yan memuat hadis yang berasal dari abad pertama hijiriah seperti naskah Suhail bin Abi Shalih, naskah Abdullah bin Umar dan naskah Abi al-Yaman al-Hakam bin Nafi’. Karena itu, ia berhasil membuktikan bahwa hadis terpelihara dalam bentuk tertulis, dan bukannya lisan. Selain itu, Azami sekaligus juga membantah tuduhan bahwa Ibnu Syihab al-Zuhri adalah orang yang pertama kali menulis hadis, karena sesungguhnya beliau hanyalah orang yang pertama kali mengumpulkan hadis. 
4.    Hukum Islam
Adapun mengenai hukum Islam kembali diragukan oleh orientalis bernama Josep Schact, dengan mengatakan bahwa hukum Islam adalah buatan para ulama abad ke-II dan ke-III Hijriah Menurut Schact, hukum Islam dikenal semenjak penunjukan para hakim-hakim agama (al-qadhi) dengan dasar pemberian keputusan secara perseorangan, setelah memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an. 
Untuk mendukung kesimpulannya ini, Schact mengetengahkan teori projecting back (proyeksi ke belakang), yaitu menisbahkan pendapat para ahli fikih abad ke-II dan ke-III Hijriah kepada tokoh-tokoh terdahulu agar pendapat itu memiliki legitimasi dari orang-orang yang mempunyai otoritas lebih tinggi. Menurutnya, para ahli fikih telah mengaitkan pendapat-pendapatnya dengan tokoh-tokoh sebelumnya, sampai kepada Nabi saw. sehingga membentuk sanad hadis.
Namun, teori Schact ini kembali dapat dipatahkan oleh M.M Azami dengan melakukan penelitian khusus tentang hadis-hadis Nabawi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Salah satunya adalah naskah milik Suhail bin Abu Shalih (w. 138 H). Abu Shalih( ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah, sahabat Nabi saw. karenanya, sanad hadis dalam naskah itu berbentuk: Nabi saw.-Abu Hurairah – Abu Shalih – Suhail. Naskah Suhail ini berisi 49 hadis. Sementara Azami meneliti para rawi hadis-hadis itu sampai generasi Suhail yaitu jenjang ketiga, termasuk jumlah dan dominasi mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah rawi berkisar antara 20-30 orang sementara domisili mereka terpencar dan berjauhan, sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama.
Maka Azami berkesimpulan, sangat mustahil menurut ukuran situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat hadis palsu sehingga redaksinya sama. Kesimpulan Azami ini bertolak belakang dengan kesimpulan Schact, baik tentang rekonstruksi terbentuknya sanad hadis, maupun bunyi teks (matan) hadis.
5.    Poligami
Orientalis mengatakan bahwa Islam memberi hak kepada laki-laki untuk beristri lebih dari satu.ini berarti wanita tidak punya hak penentuan daam  perkawinan.  Mereka menuduh bahwa Nabi poligami karena libido seksnya yang sangat tinggi. Seandainya ia seorang Nabi niscaya ia akn disibukkan oleh urusan dan tugas kenabiannya, bukan sibuk dengan wanita.
Mereka mengkritik tentang poligami Rasul, padahal apakah sebelum datangnya Rasul tidak terdapat poligami? dan apakah Islam datang hanya untuk menetapkan poligami? Kalu kita lihat sejarah, ketika Rasul diutus ternyata masyarakat yang ada pada umumnya melaksanakan poligami. Meskipun sebelum Nabi Muhammad,ada Nabi yang tidak beristri, tapi kita tahu hampir semua nabi dan rasul beristri banyak. Kenapa yang menjadi ukuran nabi yang tidak kawin, seperti Nabi Isa, beliau tidak kawin karena tidak punya tempat tinggal yang tetap, selau pergi merantau sesuai panggilan dakwah yang dijalankannya.
Setiap perkawinan Rasul pasti ada persoalan yang berhubungan dengan  keimanan yang sekaligus sebagai pengajaran bagi orang-orang mukmin. Dan kita tau, bahwa selain Aisyah, semua istri rasul itu janda, ada yang tua, lanjut usia, dan beranak banyak. Jadi perkawinan Rasul bukanlah suatu hiburan atau hal yang menyenangkan untuk menyalurkan libido seksnya.  Kalau seandainya Rasul poligami karena libido seksnya tinggi kenapa harus memilih wanita-wanita seperti itu. Apa sih kurangnya sosok seorang Nabi Muhammad sehingga tidak disukai wanita-wanita muda.
Demikianlah beberapa contoh hasil kajian orientalis yang berhasil dipatahkan baik oleh ulama Islam sendiri maupun karena penjelasan ilmiah yang dapat membuktikan bahwa apa yang dituduhkan oleh para orientalis hanyalah berdasar pada pemahaman mereka yang minim tentang Islam. Karenanya, tidak keliru rasanya jika Edward Said, Maryam Jamilah dan beberapa pakar lain menyatakan bahwa tidak semua kajian orientalis merupakan kajian  yang murni secara objektif. Jika sebagian orientalis bersikap objektif dan memandang Islam sebagaimana kajian-kajian yang mereka pelajari, maka sebagian lagi justru mempelajari Islam dengan niat-niat jahat di baliknya.
Mengenai hal ini, Maryam Jamilah dalam bukunya yang berjudul Islam dan Orientalisme menyatakan bahwa sebagian kajian orientalis memang bukan kajian obyektif dan tidak memihak Islam maupun kebudayaannya, yang diupayakan secara mendalam bukanlah untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik dan orisinal melainkan hanya rencana jahat yang terorganisasikan untuk menghasut para pemuda kita agar memberontak terhadap agama mereka, dan mencemooh semua warisan sejarah Islam dan kebudayaannya sebagai warisan yang tidak berguna. Sasaran yang hendak dicapainya adalah menciptakan kekeliruan sebanyak-banyaknya di kalangan pemuda-pemuda yang belum matang dan mudah ditipu itu dengan cara menanamkan benih keraguan, sinisisme, dan skeptisisme. 
Selain beberapa contoh di atas tentu masih banyak lagi kajian orientalis yang cukup membuat umat Islam gerah jika mengkaji pemikiran para orientalis tersebut. Sayangnya, sebagian karya orientalis justru menjadi rujukan utama di beberapa perguruan tinggi Islam di luar negeri bahkan di dalam negeri. Menyaksikan hal ini tentu kita merasa prihatin dan sebagai pemikir-pemikir Islam tentu harus berbuat sesuatu. Jika para orientalis rela menghabiskan waktu berpuluh tahun hanya untuk mengorek kelemahan ajaran Islam maka mengapa kita tidak melakukan hal yang lebih besar demi membela agama tercinta dan meluruskan kesalahpahaman yang akan menyesatkan generasi kita selanjutnya. Tidak ada cara lain bagi kita membantah tuduhan keji mereka terhadap Islam yang sangat ilmiah dan rasional selain bantahan dengan cara yang jauh lebih ilmiah dan rasional pula.
E.    Kesimpulan
Berdasarkan paparan yang dikemukakan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa orientalisme merupakan cara atau metode yang digunakan Barat untuk memahami dan menyelami dunia Timur. Upaya yang dilakukan oleh Barat ini sudah berlangsung lama seiring dengan terjadinya persentuhan antara kedua wilayah tersebut dalam sejarahnya. Penyelidikan yang dilakukan Barat terhadap Timur dalam bingkai orientalisme memunculkan beragam tanggapan, baik dari kalangan intern Barat sendiri maupun dari kalangan Timur. Tanggapan yang muncul dari Barat lebih banyak didominasi oleh kritikan yang mengarah pada ketidakjujuran motivasi Barat dalam melakukan kajian tersebut, seperti yang diperlihatkan oleh Edward W. Said. Sedangkan tanggapan yang berasal dari Timur dibedakan menjadi dua bagian, yaitu yang menolak dan menerima dengan syarat memberi manfaat bagi Timur.

Daftar Pustaka
Abdul Ghani Al Qodli, Abdul Fattah, Orientalis Menggugat Al-Qur’an. Semarang, Dina Utama, t.t.
Buchari, A. Mannan,  Menyingkap Tabir Orientalisme. Jakarta, Amzah, cet.I, 2006.
Darmalaksana, Wahyudin, Hadis di Mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht, Bandung, Benang Merah Press, 2004.
http://roedijambi.wordpress.com/2010/01/27/respon-terhadap-kajian-orientalis/. Diakses pada tanggal 2 Oktober 2011 pada jam 12.14 pm
Irena Handono, dkk., Islam Dihujat; Menjawab The islamic Invasion. Jakarta, Bima Rodeta, 2003.
Ma’arif, Nurul Huda, M.M Azami: Pembela Eksistensi Hadis. Jakarta, Pustaka Firdaus, 2002.
Muslih, Mohammad, Religious Studies ; Problem Hubungan Islam dan Barat Kajian atas Pemikiran Karel A. Steenbrink. Yogyakarta, Belukar, cet. I. 2003.
Sya’rawi, Mutawalli, Syubhat wa Abāthilil  Khusumi al-Islam wa al-Ridda ‘Alaiha, diterjemahkan oleh Abu ‘Abdillah Almansur, Menjawab Keraguan Musuh-Musuh Islam. Jakarta, Gema Insani Press,  cet. III, 1991.
W. Said, Edward , Orientalism, diterjemahkan oleh Achmad Fawaid, Orientalisme; Menggugat Hegemoni barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu komen, saran, dan kritiknya...
Syukron ^,^