Rabu, 23 Mei 2012

Bukan aku, Kak!!!

Dengan langkah gontai, aku menyusuri jalan menuju kos tercinta. Panas yang menyengat seolah membakar ubun-ubun kepala. Sejak tadi, tak henti-hentinya keringat mengucur deras di seluruh tubuhku. Kali ini, aku pulang sendiri. Henry yang biasa menemaniku menolak ku ajak pulang karna cuaca yang sangat panas. Tiba-tiba sirine masjid di hadapanku berbunyi. Tak lama kemudian,
muazzin mengumandangkan azan dengan suara merdunya. Mengingatkan umat Islam untuk datang memenuhi panggilan-Nya. Kali ini ku putuskan untuk shalat dulu sebelum tiba di kos. Walaupun jarak menuju kosku sangat dekat, namun aku lebih sering menyempatkan diri untuk shalat dulu jika kebetulan azan berkumandang. Maklum, jika sudah tiba di kos, ada saja yang harus ku lakukan.
Sebelum memasuki masjid, terlebih dahulu aku melepas sepatu dan menuju tempat berwudhu. Tas di bahuku sengaja tak ku lepaskan. Baru-baru ini, beberapa orang kawan sempat kehilangan barangnya saat shalat di masjid ini. Aku tak berburuk sangka, namun tak ada salahnya kan aku berhati-hati.
Selepas memasuki masjid, tak lupa ku taruh tas di depan tempat sujudku. Tak lama seusai ku melaksanakan shalat sunnat sebelum zhuhur, muazzin mengumandangkan iqamah. Para jamaah serentak berdiri untuk memulai shalat. Sebelum shalat, tak lupa imam mengingatkan jamaah untuk mengamankan benda-benda berharga dan meluruskan shaf. Karna khawatir akan keamanan tasku, aku pun memilih shaf paling belakang sehingga dapat dengan mudah meletakkan tasku tanpa mengganggu jamaah lain.
Shalat berjamaah telah selesai, satu persatu jamaah mulai meninggalkan masjid. Aku yang bersiap ingin pulang tiba-tiba tersadar bahwa aku meninggalkan jam tanganku saat berwudhu tadi. Dengan segera aku menuju tempat wudhu untuk mencari jam tanganku. Untunglah ia masih ada di tempatku berwudhu tadi. Aku pun kembali ke masjid untuk mengambil tasku yang tertinggal. Sialnya, dalam sekejap, tas yang ku tinggalkan di masjid tak kurang dari 5 menit itu telah raib entah kemana. Aku segera mengedarkan pandangan ke seluruh masjid dan mencoba untuk mengamati perilaku beberapa orang yang masih ada di masjid. Namun, mereka semua yang kulihat, tak menunjukkan ciri-ciri pencuri. Kecuali mereka, ada satu anak yang berdiri di teras masjid yang cukup membuatku curiga. Entah aku yang terlalu berburuk sangka, atau karna memang sikapnya yang cukup mencurigakan. Sejak tadi, ia hanya berdiri disana sembari celingak-celinguk seolah-olah memperhatikan dan mencari sesuatu. Walaupun di tangannya tak ku lihat ada task u, namun kecurigaan itu tetap mengarah padanya.
Batinku bergumam, “Hmm, pasti dia sedang menunggu kawannya yang sudah lebih dulu mengamankan tas milikku dan sekarang sedang mencari mangsa yang lain. Dasar bocah, kecil-kecil sudah jadi maling.”
Tanpa basa-basi, ku hampiri si anak yang belum beranjak dari teras masjid. Ketika ia bersiap pergi, segera ku tangkap tangannya dan segera ku hakimi dengan umpatan, “Hei, bocah. Berani-beraninya kamu masih disini setelah mencuri tas milikku. Mana temanmu yang membawa task u hah??? Mau nyuri apa lagi kamu disini?? Masih kecil saja sudah jadi maling gimana besarnya nanti…!!!  Bagaikan serentetan peluru, aku  memarahinya habis-habisan.
    “Maaf kak, saya tidak mencuri punya kakak dan tidak pernah mencuri apapun. Saya hanya mencari sebelah sandal saya yang hilang.“ Jawab  anak itu dengan mengiba. Mendengar itu, bukannya iba, aku malah justru memperhatikan kata “Sandal” yang diucapkannya. Bagaimana nasib sepatuku saat ini? Sejak tadi, aku  sibuk mencari tasku yang hilang sementara barang berhargaku lainnya  itu tak ku ingat lagi.
Segera ku … dimana aku meletakkan sepatuku tadi. Namun, benar saja apa yang ku duga. Sebelah sepatuku sudah tak ada di tempatnya tadi, sementara sebelahnya lagi masih teronggok disana. “Sial, maling apa maling nih. Kenapa nggak sekalian nyuri dua-duanya aja.” Bentakku pada diri sendiri.
Kembali ku hampiri bocah yang tadi ku maki habis-habisan. Kali ini dengan nada yang sedikit halus. “Beneran dek, kamu juga kehilangan sandal.”, sang bocah menjawab, “Iya kak. Sama seperti kakak, aku juga kehilangan sebelah sandal. Tapi untungnya sandalku memang sudah butut, tak sebagus punya kakak. Tuh sebelah sandalku kak.”
Ku lihat ia menunjuk pada sandal jepit yang sudah tak jelas lagi warnanya. Walaupun begitu, ku lihat wajahnya yang merasa sedih kehilangan sebelah sandalnya. Mungkin itu satu-satunya sandal yang ia miliki. Perasaanku mulai tersentuh. Ku ajak ia untuk duduk sebentar, sementara menunggu cuaca yang masih sangat panas. Jika aku pulang sekarang mungkin belum sampai kos, kakiku sudah terbakar karna panas yang menyengat. Tak banyak yang kami bicarakan, karna jujur aku malu telah menuduhnya tadi. Tanpa … aku memarahinya tanpa ampun. Padahal, tak  ada bukti sedikitpun yang menunjukkan bahwa ia pelakunya. Syetan telah berhasil menggodaku untuk meluapkan kemarahan pada orang yang tak  bersalah.
Baru beberapa menit kami duduk bersama, ia telah berdiri dan sepertinya siap untuk pergi. Sebelum pergi, ia berkata “Kak, sandal punyaku biar kakak pakai saja untuk pulang. Tapi, maaf kak, aku Cuma bisa meminjamkan sebelah saja.  Lumayan, biar kaki kakak tidak kepanasan.” Dengan senyum tulus ia menawarkan sebelah sandalnya untuk ku pakai.
“Lalu kamu pakai apa dik? memangnya kamu mau pergi kemana sekarang? Kenapa kamu tidak menunggu cuaca agak dingin dulu baru pergi?” Bertubi-tubi pertanyaan ku lontarkan padanya.
Dengan santai, ia menjawab semua pertanyaanku. “Tenang saja kak, aku sudah terbiasa dengan panasnya terik matahari dan berjalan tanpa alas. Kakiku sudah diciptakan oleh Tuhan untuk kebal terhadap apapun.. Hhhe.. Sekarang aku bersiap untuk tugas dulu kak. Biasa,.. menjual hiburan gratis pada penduduk ibukota yang tidak sempat menikmati hiburan. Kebetulan siang-siang begini, pendapatan lumayan rame. Oh ya kak, lain kali kakak harus hati-hati. Satu lagi kak, walaupun aku tak punya uang, tapi aku tak pernah berfikir untuk mengambil barang yang bukan hak ku. ”
Aku terpaku mendengar kata-kata terakhirnya. Ia  meyindirku dengan sangat halus. Yah, kali ini aku memang terlalu gegabah menuduh orang lain yang tak tau apa-apa. Tanpa sempat mengucapkan terima kasih dan permohonan maafku, bocah yang tak ku ketahui namanya itu telah berlari menghampiri teman-teman yang sudah menunggunya.  
Di lampu merah seberang sana, ia dan teman-temannya berdiri di depan sebuah mobil yang sedang berhenti sembari menyanyikan sebuah lagu dengan riang. Ketika taka da respon dari pemilik mobil, mereka pun beralih pada mobil yang lain yang mungkin sedikit berbaik hati pada mereka. Ia berlari dengan riang, tanpa alas kaki. Benar katanya, kakinya memang sangat kebal. Sungguh, hari ini ku telah belajar dari seorang bocah. Tulus membantu, tanpa melihat apa yang sudah dilakukan orang yang dibantu itu padanya. Ia juga mengajarkanku untuk lebih bersabar atas segala hal yang terjadi. Terima Kasih, bocah!!!


1 komentar:

  1. A new, yet never-ending online space - TITanium Sports
    The SIS platform enables users to add and retain content from any online sports betting titanium necklace mens site they wish to head titanium tennis racket bet titanium earrings on. It's babylisspro nano titanium hair dryer designed titanium studs to

    BalasHapus

Ditunggu komen, saran, dan kritiknya...
Syukron ^,^