Minggu, 06 Januari 2013

Jogja: Antara aku dan tafsir hadis


Tak pernah terlintas di benakku. Tak pula menjadi bagian dari daftar mimpiku. Aku tak pernah berfikir bahwa aku akan bisa menginjakkan kaki di kota gudeg, Jogjakarta. Yang lebih mengherankan, aku ada disana bukan bersama keluargaku tercinta. Tapi, bersama rekan-rekan yang juga memilih tafsir hadis sebagai jalan hidup dan HMJ TH sebagai ‘rumah’ kami saat di kampus. Ya, tafsir hadislah yang telah membuat kami berempat bisa merasakan hawa sejuk Jogjakarta. Tafsir hadis pula yang mempertemukanku dengan kawan-kawan dari berbagai belahan nusantara. Yah, semua karena aku yang telah memilihmu. Aku yang telah rela ‘menyerahkan’ masa depan dunia dan akhiratku kepadamu. Tepatnya bukan ‘menyerahkan’, tapi aku ingin kau menjadi perantara menuju impian-impian dunia dan akhiratku.



Bagi sebagian orang, jurusan ini sungguh tak menjanjikan. Tak ada pekerjaan yang pasti menanti setelah menamatkan sarjana di jurusan ini. Anggapan mereka memang tak salah, tapi aku tak peduli. Jogja membuatku kembali bersemangat menjalani hari-hari bersama Tafsir Hadis. Di Jogja, aku menemukan kawan-kawan senasib (sesama Mahasiswa TH) yang dengan bangga menunjukkan jati diri mereka. Mereka yang optimis akan kehidupan masa depan yang lebih baik dengan jurusan ini. Mereka semua dengan pengetahuan Tafsir dan Hadis yang luas. Mereka yang kritis dan berani. Semua membuatku iri dan ingin terus belajar.
Sekali lagi, tafsir hadislah yang membuatku bisa ada di Jogja. Tepatnya, karena aku mahasiswa Tafsir hadis. Lebih tepatnya lagi, karena aku menjadi bagian dari Himpunan Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis. Yah, tak mungkin aku bisa ada di Jogja dan UIN Sunan Kalijaga karena acara ini adalah “Semiloka Hadis sekaligus Munas FKMTHI (Forum Komunikasi Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis)”. Inilah seminar hadis tingkat nasional dan pertemuan Himpunan Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis se-Indonesia. Jika bukan pengurus HMJ, mungkin bukan aku yang saat itu ada di Jogja dan menemani ketiga rekanku.
Aku bangga (pasti juga dirasakan oleh ketiga rekanku) saat menyebutkan nama IAIN Antasari Banjarmasin di tanah Jawa. Tak hanya di tanah Jawa, tapi di hadapan kawan-kawan se-Indonesia. Melihat antusias mereka mendengar nama Banjarmasin, aku tertegun. Mungkin mereka takjub karena kami nekat melintasi pulau hanya untuk menghadiri acara ini. Ketakjuban mereka semakin bertambah saat mereka tau bahwa kami menggunakan dana pribadi dan “bantuan” dari beberapa pengajar bukan dana khusus yang disediakan oleh kampus, untuk sampai ke kota ini. Satu hal yang juga membuatku bangga adalah saat mereka dengan agak kaku menyebutkan salah satu bahasa kita ‘ulun’. Yang cukup menggelikan adalah saat seorang rekan dari Cirebon memanggilku dengan sebutan ‘ulun’. Panggilan itu bukan gelar, bukan pula ejekan. Tapi awalnya ia memang mengira bahwa ‘ulun’ adalah namaku. Sambutan yang hangat dan penghargaan yang mereka semua berikan lah yang membuat kami berat meninggalkan kota ini.
Setiap momen di UIN SuKa dan Jogjakarta terus melekat di benakku. Semua menyenangkan, semua membahagiakan, dan semua takkan pernah terlupakan. Sayang, selalu ada perpisahan di setiap pertemuan. Tapi aku berharap akan ada lagi pertemuan-pertemuan selanjutnya bersama mereka. Aamiin…

3 komentar:

  1. Mksih...
    Lagi belajar nulis mas ^,^...

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum, Mba blh mnta kontak Wa y gk..., da sesuatu yg mau d tanyaiin..., mksh

    BalasHapus

Ditunggu komen, saran, dan kritiknya...
Syukron ^,^