Sabtu, 25 Mei 2013

“Pelabuhan Terakhir Nayla”

       “Aku ingin mencintainya dalam diam, Bell!” Nayla bersikukuh dengan pendiriannya.
“Iyyaa,,, tapi kau tidak akan mendapatkannya hanya dengan berdiam diri, Nay?”
“Aku yakin Allah tau apa yang aku butuhkan. Aku ingin seperti Az-Zahra, yang mencintai Sayyidina Ali sejak remaja tapi tak seorangpun yang mampu meraba rasa itu, hingga ia sendiri yang mengungkapkan rasa itu pada Ali yang telah jadi suaminya”
“Tapi kau bukan az-Zahra, Nay!!! Kau sekarang adalah wanita berumur 30 tahun yang seharusnya sudah hidup bahagia dengan suami dan anak-anak. Tapi apa??? Sepuluh tahun telah berlalu, kau hanya diam dan menjadi pengagum rahasia Raihan. Kalian berdua sudah teramat dekat, tapi kau, juga Raihan, tak pernah sama-sama mengungkapkan rasa itu.”
“Aku yakin jika kami memang berjodoh, Allah akan mempersatukan kami, Bell?”
“Iyaa,, tapi sampai kapan???? Jika Raihan terlalu gengsi untuk menyatakan perasaannya, maka tidak ada salahnya jika kau yang memulainya, Nay. Bukankah Sayyidatina Khadijah juga melakukan itu pada Rasulullah? Kau pun tau, lima tahun yang lalu aku yang mengajak mas Alfian menikah, bukan dia.” Kali ini Bella mencoba melempar argumen. Wanita yang sedang hamil itu berusaha keras meluluhkan keteguhan pendirian sahabatnya itu.
“Sekali lagi, aku yakin Allah tau apa yang terbaik untuk hidupku.” Nayla tak bergeming dengan berbagai argumen sahabatnya itu. Ia tetap memegang teguh pendiriannya. 
“Baiklah, terserah padamu.”
Kali ini Bella menyerah, tapi tidak untuk nanti. Ia akan terus berusaha agar sahabatnya itu mampu mendapatkan pendamping hidup yang ia inginkan. Hal ini ia  lakukan semata atas dasar rasa sayang kepada sahabatnya itu. Sepuluh tahun menjadi saksi abadi perasaan bisu sahabatnya itu tentu bukan hal mudah baginya. Dan jauh tidak mudah bagi sahabatnya, Nayla, yang menutup rapat rasa itu kecuali hanya padanya dan Allah.
******
Malam yang tenang. Sesekali, suara jangkrik menambah kesyahduan malam. Hanya terdengar detik-detik jam yang tak henti berdetak. Menghitung mundur sang waktu hingga hari akhir tiba. Keheningan malam mulai terusik saat sesosok makhluk Allah terjaga. Gemericik air mulai beradu dengan nyanyian malam si jangkrik. Tak lama, isak tangis sang makhluk ikut meramaikan kesunyian malam.
Allah, salahkah hamba yang ingin menjaga keutuhan rasa ini?
Kelirukah hamba jika ingin agar rasa ini tetap suci?
Pantaskah jika hamba ingin cinta ini hanya untuk-Mu dan karena-Mu
Ampuni hamba yang tak sabar menunggu tibanya waktu yang kau janjikan!!!
Haruskah hamba mengemis cinta padanya,
sementara hamba tau ada Engkau Sang Pemilik Cinta???
Haruskah hamba menghiba pada makhluk-Mu,
sementara hamba tau ada Engkau yang Maha Memiliki segala???
Haruskah hamba berlari mengejar makhluk-Mu
sementara hamba tau hanya kepada Engkau pelarian terbaik itu??
Rabb, jangan biarkan godaan ini menghancurkan tekadku
ombak sebesar apapun tak boleh menghancurkan batu karang yang ku bangun dengan fondasi keimananku.
Jika memang ia untukku, maka dekatkanlah kami ya Rabb…!!!
Tapi, jika ia bukan kau siapkan untukku, maka tunjukkanlah ya Rabb… Biar hati ini tak ternodai perasaan tak halal
Rabb, jangan Engkau jauh dari hamba….
Tiada daya dan kekuatan hamba, melainkan hanya karena kekuatan-Mu ya Rabb…
Allah, Anugerahkan ketenangan di hati ini, dalam penantian menuju datangnya pujaan hati.
Berikan hamba seseorang yang paling tepat ya Rabb, siapapun dia
Nayla menutup munajatnya di sepertiga malam ini, dengan sebuah doa yang senantiasa ia lafalkan. “Rabbanâ Hablanâ Min Azwâjinâ Wa Dzurriyyatinâ Qurrota A’yun Waj’alnâ lil Muttaqîna Imâmâ.”
*****
Dengan tergesa-gesa, Bella menghampiri Nayla yang sedang asyik mengetik laporan keuangan kantor bulan ini.
“Nayla sahabatku. Ku harap hatimu terbuka setelah mendengar berita ini.”
“Berita apa, Bell?”
“Kau tau, barusan aku mendapat undangan pernikahan dari Raihan. Minggu depan ia akan menikahi Amanda, rekan kerja yang baru dikenalnya 5 bulan lalu.”
Seketika, hati Nayla terasa dicabik-cabik, fondasinya serasa luruh, tak ada yang ia rasa selain kepedihan yang tak mampu dijelaskan. Ia seperti dihujani batu-batu besar yang menghimpit dadanya, terasa sangat sesak dan menyakitkan. Untungnya, sisa-sisa keimanan itu masih ada. Dengan segera, Nayla menyebut nama Allah dan menenangkan batinnya. Perasaan sejuk pun menghinggapi hatinya. “Allah, hanya kepada-Mu hamba mengharap” (Batin Nayla berbisik).
“Oh ya, syukurlah kalau begitu. Berarti dia memang bukan untukku.” Nayla membuka suara, setelah beberapa lama terdiam.
“Nayla, kamu tidak usah menyembunyikan keperihanmu. Aku sahabatmu, aku tau kamu pasti merasa sangat kecewa. Aku ingin kamu bahagia, Nay. Kamu harus berubah, jangan hanya menunggu. Kamu juga berhak melakukan sesuatu. Bayangkan, Nay! Raihan baru mengenal wanita itu 5 bulan dan mereka akan segera menikah. Jika sudah begini, apa gunanya penantianmu selama sepuluh tahun, Nay??? Jika kau berbicara sejak dulu, mungkin kau dan Raihan sudah hidup bahagia sekarang.”
“Bella sahabatku, siapa bilang penantianku tidak berguna. Kau kan tau, aku tidak diam terpaku selama masa penantian itu. Aku melakukan banyak hal. Aku tidak rugi dan aku tidak membuang waktuku. Lagipula, yang sesungguhnya aku tunggu bukanlah Raihan, tapi seseorang yang tepat entah siapa dia, yang Allah titipkan kelak untuk menjadi tempatku mengabdikan diri di dunia.”
“Tapi, kau memendam rasa untuk Raihan selama sepuluh tahun, Nay. Sejak kita menginjakkan kaki di kampus hingga sekarang. Bukankah jelas-jelas orang yang kau tunggu adalah Raihan????”
“Dulu, rasa itu memang ada untuk Raihan. Impian hidup bersama pun pernah terpikir akan dijalani bersama Raihan. Tapi, Allah yang mengatur skenario hidup kita, Bell?? Aku bahkan kamu pun tidak mampu berbuat apa-apa?”
“Kamu salah, Nay. Skenario itu bisa berubah seandainya kau bicara sejak dulu. Aku bahkan sedang mengandung anak pertamaku, sementara kau, memiliki pendamping pun tidak. Kita sudah kepala tiga, Nay. Tak ada yang kita cari di dunia ini selain kebahagiaan.”
“Aku tau, aku pun menginginkan itu Bell. Aku ingin memiliki suami, juga anak-anak, Sepertimu. Mungkin Allah sedang menyiapkan yang terbaik untuk hidupku.”
“Mungkin… ah, kau bahkan tidak begitu yakin dengan keyakinanmu itu.” Bella berlalu, ia merasa kata-katanya sudah tidak berarti apa-apa bagi Nayla.
Nayla terdiam. Ia tak sanggup lagi mengatakan apa-apa. Keperihan itu masih terasa. Butiran-butiran kecil mulai membasahi wajahnya. “Ya Rabb, inikah jawaban atas doa-doa malamku. Ternyata ia memang bukan untukku. Kuatkan hati ini Ya Rabb…” Nayla berusaha menenangkan batinnya. Mencari angin segar di sela keadaan yang menghimpit batinnya.
*****
Tiga bulan berlalu. Nayla telah bangkit. Ia tetap menanti datangnya sang pangeran. Ia menyerahkan hidupnya hanya pada Allah. Bella pun tak henti mencarikan jalan bagi masa depan sahabatnya itu. Beberapa laki-laki ia kenalkan pada Nayla. Harapannya hanya satu, semoga salah satu dari mereka dapat menjadi ‘pelabuhan terakhir’ bagi Nayla. Sayang, harapan itu tak kunjung terjawab. Nayla selalu menolak setiap laki-laki yang ‘ditawarkan’ padanya. Bella sudah kehabisan akal, ia sungguh bingung dengan sahabatnya itu.
“Nay, laki-laki seperti apa sih yang kau inginkan?”
“Aku hanya ingin yang Allah pilihkan, Bell” Nayla menjawab dengan tenang.
“Bukankah aku bisa menjadi perantara itu? Tidak mungkin kan Allah menurunkan seorang laki-laki untukmu seperti Dia menurunkan hujan dari langit. Bukankah manusia adalah perantaranya, termasuk aku?”
“Maafkan aku, Bell.”
“Nayla, aku melakukannya untukmu. Untuk kebahagiaanmu. Kau tau, aku bahkan sempat berdebat dengan mas Alfian hanya karna dirimu. Ia mengatakan bahwa jika saja aku menikah dengan laki-laki lain, maka tentu ia yang akan menikahimu. Aku sempat cemburu, mungkinkah mas Alfian diam-diam mencintaimu. Tapi aku berusaha menjernihkan pikiranku. Aku tau ia mengatakan itu tentu semata-mata karena ia tau kau wanita yang hampir sempurna. Aku yakin, ada banyak laki-laki di luar sana yang berpikir hal yang sama. Mereka terlalu takut memulai, Nay. Kau wanita yang hebat, cantik, pintar, mapan. Mereka akan ciut melangkahkan kaki padamu. Tak ada cara lain, kau yang harus memulai itu.” Bella berbicara panjang lebar sambil sesekali mengusap perutnya yang kian membesar. Jabang bayi ini adalah bukti cinta mas Alfian padanya.
“Sekali lagi, aku minta maaf Bella. Kau telah melakukan banyak hal untukku, tapi aku tak menemukan apa yang aku cari pada diri mereka. Aku menyerahkan segalanya pada Allah.” Nayla terisak. Ia tak sanggup menahan keharuan atas kebaikan sahabatnya itu. Tapi, ia meyakini. Sekuat apapun mereka berusaha, jika Allah belum mengizinkan, maka tidak akan ada yang terjadi.
*****
“Assalamu’alaikum, Nayla.”
“Wa’alaikum salam. Mas Alfian? Bella nya mana?” Nayla terkejut mendengar suara pria di seberang sana. Ia merasa tidak salah, barusan ia memencet nomor sahabatnya, Bella.
“Sekarang dia berada di ruangan. Dia sedang berusaha keras menyelamatkan hidup buah hati kami. Dia mengalami pendarahan, setelah tergelincir di kamar mandi.” Suara Mas Alfian terdengar semakin parau, seperti tercekat di tenggorokan.
“Astaghfirullah, Bella. Di rumah sakit mana Mas?” Nayla pun semakin tak karuan mendengar keadaan sahabatnya itu. Ia bergegas menuju ke rumah sakit yang diberitahukan oleh suami Bella itu.
*****
Tiga jam berlalu. Nayla, Alfian, dan kedua orang tua Alfian menunggu dengan penuh pengharapan. Para dokter masih bertindak. Tak seorangpun diperkenankan menemani Bella saat ini. Semua terdiam. Larut dalam doa demi keselamatan Bella dan bayinya. Tak lama, seorang dokter keluar ruangan, diikuti beberapa perawat yang membawa beberapa peralatan dokter. Semua bergegas menghampiri sang dokter.
“Bagaimana keadaan istri dan anak saya, Dok?”
“Anak anda dalam keadaan sehat. Istri anda kehilangan banyak darah, sepertinya ia tidak akan bertahan lama. Mohon maaf.” Sang dokter menunjukkan penyesalannya.
Mendengar kalimat terakhir dokter, keempat orang yang sejak tadi menanti segera masuk ke ruangan Bella. Nayla tak dapat menahan kesedihannya melihat Bella yang dalam keadaan lemah. Isyarat tangannya menunjukkan bahwa ia sedang memanggil keempat orang yang disayanginya itu. Mereka segera mendekat ke sisi ranjang Bella. Alfian menggenggam erat tangan istrinya. Di sisi yang lain, Nayla pun tak kalah erat menggenggam lengan sahabatnya yang sudah seperti saudaranya itu.
“Bayi kita mana mas?” Bella bertanya dengan lirih
Alfian segera meminta perawat untuk meletakkan bayi mereka di pangkuan Bella. Bayi yang lucu dan manis. Terlihat jelas bahwa ia adalah percampuran yang indah antara Bella dan Alfian. Bella mendekap bayinya, seakan tak ingin berpisah darinya. Ia tersenyum, menatap suaminya dan berkata,
“Mas, anak kita tampan sekali. Sepertimu…!” Alfian mengangguk.
“Kau harus merawatnya dengan baik, mas.”
“Bukan aku, tapi kita Sayang ….” Alfian mengoreksi kata-kata Bella dengan lembut.
“Aku merasa aku harus pulang hari ini, Mas…”
“Tidak, kau akan baik-baik saja. Kita akan merawat anak kita bersama, istriku.” Alfian berusaha meyakinkan istrinya.
“Iyya Bella, kau akan hidup bahagia bersama suami dan anakmu.” Nayla ikut menguatkan.
“Nayla sahabatku, sepertinya aku tau mengapa Allah tak kunjung mempertemukanmu dengan jodohmu.” Tiba-tiba Bella mengalihkan pembicaraan.
“Sudahlah Bella, aku tidak penting. Yang penting sekarang kau harus bertahan. Demi Mas Alfian, demi bayi kalian.”
“Nayla, aku tau sekarang.” Kali ini Bella berbicara terbata, ia seperti mengatur nafas yang sudah hampir habis.
“Ternyata Allah sedang menyiapkanmu untuk seseorang yang sangat aku cintai. Inilah pilihan Allah itu.”
“Maksudmu?” Nayla tertegun, berusaha mencerna kata-kata Bella.
“Kau akan menggantikan posisiku. Mengabdikan dirimu pada suami ku. Menjadikannya pelabuhan terakhirmu. Aku titipkan pula putra kami padamu, Nayla.”
Semua orang terkejut mendengar kata-kata Bella. Bella menatap Nayla dan Alfian secara bergantian. Tatapannya berakhir pada bayi mungil mereka. Dia memegang tangan kedua orang tersebut. Meletakkan tangan kedua orang yang dicintainya itu di tubuh bayi mereka. Ia berkata dengan lirih.
“Berjanjilah pada ku, Mas… Nayla… Kalian akan merawatnya untukku. Berbahagialah kalian, maka aku pun akan sangat berbahagia.” Tatapan Bella penuh harap. Ia tersenyum.
Kedua orang yang ditanya itu hanya bisa mengangguk pelan. Setidaknya, anggukan mereka bisa menjadi penenang bagi Bella yang terlihat semakin lemah. Tangis sang bayi pecah seketika, bersamaan dengan perginya Bella. Dengan tenang, ia menghadap Sang Kuasa. Senyuman yang tulus terpancar dari wajahnya. Sementara tangisan orang-orang di sekitarnya pun semakin pecah. Bella telah pergi, meninggalkan semua kebaikannya pada hati dan benak Nayla. Dia bahkan merelakan suaminya menjadi pelabuhan terakhir baginya.
“Bella, semoga kau bahagia di sisi-Nya.”
SELESAI 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditunggu komen, saran, dan kritiknya...
Syukron ^,^