“Aku ingin mencintainya dalam
diam, Bell!” Nayla bersikukuh dengan pendiriannya.
“Iyyaa,,, tapi kau tidak akan
mendapatkannya hanya dengan berdiam diri, Nay?”
“Aku yakin Allah tau apa yang aku
butuhkan. Aku ingin seperti Az-Zahra, yang mencintai Sayyidina Ali sejak remaja
tapi tak seorangpun yang mampu meraba rasa itu, hingga ia sendiri yang
mengungkapkan rasa itu pada Ali yang telah jadi suaminya”
“Tapi kau bukan az-Zahra, Nay!!! Kau
sekarang adalah wanita berumur 30 tahun yang seharusnya sudah hidup bahagia
dengan suami dan anak-anak. Tapi apa??? Sepuluh tahun telah berlalu, kau hanya
diam dan menjadi pengagum rahasia Raihan. Kalian berdua sudah teramat dekat,
tapi kau, juga Raihan, tak pernah sama-sama mengungkapkan rasa itu.”
“Aku yakin jika kami memang
berjodoh, Allah akan mempersatukan kami, Bell?”
“Iyaa,, tapi sampai kapan???? Jika
Raihan terlalu gengsi untuk menyatakan perasaannya, maka tidak ada salahnya
jika kau yang memulainya, Nay. Bukankah Sayyidatina Khadijah juga melakukan itu
pada Rasulullah? Kau pun tau, lima tahun yang lalu aku yang mengajak mas Alfian
menikah, bukan dia.” Kali ini Bella mencoba melempar argumen. Wanita yang
sedang hamil itu berusaha keras meluluhkan keteguhan pendirian sahabatnya itu.
“Sekali lagi, aku yakin Allah tau
apa yang terbaik untuk hidupku.” Nayla tak bergeming dengan berbagai argumen
sahabatnya itu. Ia tetap memegang teguh pendiriannya.
“Baiklah, terserah padamu.”
Kali ini Bella menyerah, tapi tidak untuk nanti. Ia akan terus berusaha agar sahabatnya itu mampu mendapatkan pendamping hidup yang ia inginkan. Hal ini ia lakukan semata atas dasar rasa sayang kepada sahabatnya itu. Sepuluh tahun menjadi saksi abadi perasaan bisu sahabatnya itu tentu bukan hal mudah baginya. Dan jauh tidak mudah bagi sahabatnya, Nayla, yang menutup rapat rasa itu kecuali hanya padanya dan Allah.
Kali ini Bella menyerah, tapi tidak untuk nanti. Ia akan terus berusaha agar sahabatnya itu mampu mendapatkan pendamping hidup yang ia inginkan. Hal ini ia lakukan semata atas dasar rasa sayang kepada sahabatnya itu. Sepuluh tahun menjadi saksi abadi perasaan bisu sahabatnya itu tentu bukan hal mudah baginya. Dan jauh tidak mudah bagi sahabatnya, Nayla, yang menutup rapat rasa itu kecuali hanya padanya dan Allah.
******
Malam yang tenang. Sesekali,
suara jangkrik menambah kesyahduan malam. Hanya terdengar detik-detik jam yang
tak henti berdetak. Menghitung mundur sang waktu hingga hari akhir tiba.
Keheningan malam mulai terusik saat sesosok makhluk Allah terjaga. Gemericik
air mulai beradu dengan nyanyian malam si jangkrik. Tak lama, isak tangis sang
makhluk ikut meramaikan kesunyian malam.
Allah, salahkah hamba yang ingin menjaga
keutuhan rasa ini?
Kelirukah hamba jika ingin agar
rasa ini tetap suci?
Pantaskah jika hamba ingin cinta
ini hanya untuk-Mu dan karena-Mu
Ampuni hamba yang tak sabar
menunggu tibanya waktu yang kau janjikan!!!
Haruskah hamba mengemis cinta
padanya,
sementara hamba tau ada Engkau
Sang Pemilik Cinta???
Haruskah hamba menghiba pada
makhluk-Mu,
sementara hamba tau ada Engkau
yang Maha Memiliki segala???
Haruskah hamba berlari mengejar
makhluk-Mu
sementara hamba tau hanya kepada
Engkau pelarian terbaik itu??
Rabb, jangan biarkan godaan ini menghancurkan tekadku
ombak sebesar apapun tak boleh
menghancurkan batu karang yang ku bangun dengan fondasi keimananku.
Jika memang ia untukku, maka
dekatkanlah kami ya Rabb…!!!
Tapi, jika ia bukan kau siapkan
untukku, maka tunjukkanlah ya Rabb… Biar hati ini tak ternodai perasaan tak
halal
Rabb, jangan Engkau jauh dari hamba….
Tiada daya dan kekuatan hamba,
melainkan hanya karena kekuatan-Mu ya Rabb…
Allah, Anugerahkan ketenangan di hati ini, dalam penantian
menuju datangnya pujaan hati.
Berikan hamba seseorang yang paling
tepat ya Rabb, siapapun dia
Nayla menutup munajatnya di
sepertiga malam ini, dengan sebuah doa yang senantiasa ia lafalkan. “Rabbanâ
Hablanâ Min Azwâjinâ Wa Dzurriyyatinâ Qurrota A’yun Waj’alnâ lil Muttaqîna
Imâmâ.”
*****
Dengan tergesa-gesa, Bella
menghampiri Nayla yang sedang asyik mengetik laporan keuangan kantor bulan ini.
“Nayla sahabatku. Ku harap hatimu
terbuka setelah mendengar berita ini.”
“Berita apa, Bell?”
“Kau tau, barusan aku mendapat
undangan pernikahan dari Raihan. Minggu depan ia akan menikahi Amanda, rekan
kerja yang baru dikenalnya 5 bulan lalu.”
Seketika, hati Nayla terasa
dicabik-cabik, fondasinya serasa luruh, tak ada yang ia rasa selain kepedihan
yang tak mampu dijelaskan. Ia seperti dihujani batu-batu besar yang menghimpit
dadanya, terasa sangat sesak dan menyakitkan. Untungnya, sisa-sisa keimanan itu
masih ada. Dengan segera, Nayla menyebut nama Allah dan menenangkan batinnya.
Perasaan sejuk pun menghinggapi hatinya. “Allah, hanya kepada-Mu hamba
mengharap” (Batin Nayla berbisik).
“Oh ya, syukurlah kalau begitu.
Berarti dia memang bukan untukku.” Nayla membuka suara, setelah beberapa lama
terdiam.
“Nayla, kamu tidak usah
menyembunyikan keperihanmu. Aku sahabatmu, aku tau kamu pasti merasa sangat
kecewa. Aku ingin kamu bahagia, Nay. Kamu harus berubah, jangan hanya menunggu.
Kamu juga berhak melakukan sesuatu. Bayangkan, Nay! Raihan baru mengenal wanita
itu 5 bulan dan mereka akan segera menikah. Jika sudah begini, apa gunanya
penantianmu selama sepuluh tahun, Nay??? Jika kau berbicara sejak dulu, mungkin
kau dan Raihan sudah hidup bahagia sekarang.”
“Bella sahabatku, siapa bilang
penantianku tidak berguna. Kau kan tau, aku tidak diam terpaku selama masa
penantian itu. Aku melakukan banyak hal. Aku tidak rugi dan aku tidak membuang
waktuku. Lagipula, yang sesungguhnya aku tunggu bukanlah Raihan, tapi seseorang
yang tepat entah siapa dia, yang Allah titipkan kelak untuk menjadi tempatku
mengabdikan diri di dunia.”
“Tapi, kau memendam rasa untuk
Raihan selama sepuluh tahun, Nay. Sejak kita menginjakkan kaki di kampus hingga
sekarang. Bukankah jelas-jelas orang yang kau tunggu adalah Raihan????”
“Dulu, rasa itu memang ada untuk
Raihan. Impian hidup bersama pun pernah terpikir akan dijalani bersama Raihan.
Tapi, Allah yang mengatur skenario hidup kita, Bell?? Aku bahkan kamu pun tidak
mampu berbuat apa-apa?”
“Kamu salah, Nay. Skenario itu
bisa berubah seandainya kau bicara sejak dulu. Aku bahkan sedang mengandung
anak pertamaku, sementara kau, memiliki pendamping pun tidak. Kita sudah kepala
tiga, Nay. Tak ada yang kita cari di dunia ini selain kebahagiaan.”
“Aku tau, aku pun menginginkan
itu Bell. Aku ingin memiliki suami, juga anak-anak, Sepertimu. Mungkin Allah
sedang menyiapkan yang terbaik untuk hidupku.”
“Mungkin… ah, kau bahkan tidak
begitu yakin dengan keyakinanmu itu.” Bella berlalu, ia merasa kata-katanya
sudah tidak berarti apa-apa bagi Nayla.
Nayla terdiam. Ia tak sanggup
lagi mengatakan apa-apa. Keperihan itu masih terasa. Butiran-butiran kecil
mulai membasahi wajahnya. “Ya Rabb, inikah jawaban atas doa-doa malamku.
Ternyata ia memang bukan untukku. Kuatkan hati ini Ya Rabb…” Nayla berusaha
menenangkan batinnya. Mencari angin segar di sela keadaan yang menghimpit
batinnya.
*****
Tiga bulan berlalu. Nayla telah
bangkit. Ia tetap menanti datangnya sang pangeran. Ia menyerahkan hidupnya
hanya pada Allah. Bella pun tak henti mencarikan jalan bagi masa depan
sahabatnya itu. Beberapa laki-laki ia kenalkan pada Nayla. Harapannya hanya
satu, semoga salah satu dari mereka dapat menjadi ‘pelabuhan terakhir’ bagi
Nayla. Sayang, harapan itu tak kunjung terjawab. Nayla selalu menolak setiap
laki-laki yang ‘ditawarkan’ padanya. Bella sudah kehabisan akal, ia sungguh
bingung dengan sahabatnya itu.
“Nay, laki-laki seperti apa sih
yang kau inginkan?”
“Aku hanya ingin yang Allah
pilihkan, Bell” Nayla menjawab dengan tenang.
“Bukankah aku bisa menjadi
perantara itu? Tidak mungkin kan Allah menurunkan seorang laki-laki untukmu
seperti Dia menurunkan hujan dari langit. Bukankah manusia adalah perantaranya,
termasuk aku?”
“Maafkan aku, Bell.”
“Nayla, aku melakukannya untukmu.
Untuk kebahagiaanmu. Kau tau, aku bahkan sempat berdebat dengan mas Alfian
hanya karna dirimu. Ia mengatakan bahwa jika saja aku menikah dengan laki-laki
lain, maka tentu ia yang akan menikahimu. Aku sempat cemburu, mungkinkah mas
Alfian diam-diam mencintaimu. Tapi aku berusaha menjernihkan pikiranku. Aku tau
ia mengatakan itu tentu semata-mata karena ia tau kau wanita yang hampir
sempurna. Aku yakin, ada banyak laki-laki di luar sana yang berpikir hal yang
sama. Mereka terlalu takut memulai, Nay. Kau wanita yang hebat, cantik, pintar,
mapan. Mereka akan ciut melangkahkan kaki padamu. Tak ada cara lain, kau yang
harus memulai itu.” Bella berbicara panjang lebar sambil sesekali mengusap perutnya
yang kian membesar. Jabang bayi ini adalah bukti cinta mas Alfian padanya.
“Sekali lagi, aku minta maaf
Bella. Kau telah melakukan banyak hal untukku, tapi aku tak menemukan apa yang
aku cari pada diri mereka. Aku menyerahkan segalanya pada Allah.” Nayla
terisak. Ia tak sanggup menahan keharuan atas kebaikan sahabatnya itu. Tapi, ia
meyakini. Sekuat apapun mereka berusaha, jika Allah belum mengizinkan, maka
tidak akan ada yang terjadi.
*****
“Assalamu’alaikum, Nayla.”
“Wa’alaikum salam. Mas Alfian?
Bella nya mana?” Nayla terkejut mendengar suara pria di seberang sana. Ia
merasa tidak salah, barusan ia memencet nomor sahabatnya, Bella.
“Sekarang dia berada di ruangan. Dia
sedang berusaha keras menyelamatkan hidup buah hati kami. Dia mengalami
pendarahan, setelah tergelincir di kamar mandi.” Suara Mas Alfian terdengar
semakin parau, seperti tercekat di tenggorokan.
“Astaghfirullah, Bella. Di rumah
sakit mana Mas?” Nayla pun semakin tak karuan mendengar keadaan sahabatnya itu.
Ia bergegas menuju ke rumah sakit yang diberitahukan oleh suami Bella itu.
*****
Tiga jam berlalu. Nayla, Alfian,
dan kedua orang tua Alfian menunggu dengan penuh pengharapan. Para dokter masih
bertindak. Tak seorangpun diperkenankan menemani Bella saat ini. Semua terdiam.
Larut dalam doa demi keselamatan Bella dan bayinya. Tak lama, seorang dokter
keluar ruangan, diikuti beberapa perawat yang membawa beberapa peralatan
dokter. Semua bergegas menghampiri sang dokter.
“Bagaimana keadaan istri dan anak
saya, Dok?”
“Anak anda dalam keadaan sehat.
Istri anda kehilangan banyak darah, sepertinya ia tidak akan bertahan lama.
Mohon maaf.” Sang dokter menunjukkan penyesalannya.
Mendengar kalimat terakhir dokter,
keempat orang yang sejak tadi menanti segera masuk ke ruangan Bella. Nayla tak
dapat menahan kesedihannya melihat Bella yang dalam keadaan lemah. Isyarat
tangannya menunjukkan bahwa ia sedang memanggil keempat orang yang disayanginya
itu. Mereka segera mendekat ke sisi ranjang Bella. Alfian menggenggam erat
tangan istrinya. Di sisi yang lain, Nayla pun tak kalah erat menggenggam lengan
sahabatnya yang sudah seperti saudaranya itu.
“Bayi kita mana mas?” Bella
bertanya dengan lirih
Alfian segera meminta perawat
untuk meletakkan bayi mereka di pangkuan Bella. Bayi yang lucu dan manis.
Terlihat jelas bahwa ia adalah percampuran yang indah antara Bella dan Alfian.
Bella mendekap bayinya, seakan tak ingin berpisah darinya. Ia tersenyum,
menatap suaminya dan berkata,
“Mas, anak kita tampan sekali.
Sepertimu…!” Alfian mengangguk.
“Kau harus merawatnya dengan
baik, mas.”
“Bukan aku, tapi kita Sayang ….”
Alfian mengoreksi kata-kata Bella dengan lembut.
“Aku merasa aku harus pulang hari
ini, Mas…”
“Tidak, kau akan baik-baik saja.
Kita akan merawat anak kita bersama, istriku.” Alfian berusaha meyakinkan
istrinya.
“Iyya Bella, kau akan hidup
bahagia bersama suami dan anakmu.” Nayla ikut menguatkan.
“Nayla sahabatku, sepertinya aku
tau mengapa Allah tak kunjung mempertemukanmu dengan jodohmu.” Tiba-tiba Bella
mengalihkan pembicaraan.
“Sudahlah Bella, aku tidak
penting. Yang penting sekarang kau harus bertahan. Demi Mas Alfian, demi bayi
kalian.”
“Nayla, aku tau sekarang.” Kali
ini Bella berbicara terbata, ia seperti mengatur nafas yang sudah hampir habis.
“Ternyata Allah sedang
menyiapkanmu untuk seseorang yang sangat aku cintai. Inilah pilihan Allah itu.”
“Maksudmu?” Nayla tertegun,
berusaha mencerna kata-kata Bella.
“Kau akan menggantikan posisiku.
Mengabdikan dirimu pada suami ku. Menjadikannya pelabuhan terakhirmu. Aku
titipkan pula putra kami padamu, Nayla.”
Semua orang terkejut mendengar
kata-kata Bella. Bella menatap Nayla dan Alfian secara bergantian. Tatapannya
berakhir pada bayi mungil mereka. Dia memegang tangan kedua orang tersebut.
Meletakkan tangan kedua orang yang dicintainya itu di tubuh bayi mereka. Ia
berkata dengan lirih.
“Berjanjilah pada ku, Mas… Nayla…
Kalian akan merawatnya untukku. Berbahagialah kalian, maka aku pun akan sangat
berbahagia.” Tatapan Bella penuh harap. Ia tersenyum.
Kedua orang yang ditanya itu
hanya bisa mengangguk pelan. Setidaknya, anggukan mereka bisa menjadi penenang
bagi Bella yang terlihat semakin lemah. Tangis sang bayi pecah seketika,
bersamaan dengan perginya Bella. Dengan tenang, ia menghadap Sang Kuasa.
Senyuman yang tulus terpancar dari wajahnya. Sementara tangisan orang-orang di
sekitarnya pun semakin pecah. Bella telah pergi, meninggalkan semua kebaikannya
pada hati dan benak Nayla. Dia bahkan merelakan suaminya menjadi pelabuhan
terakhir baginya.
“Bella, semoga kau bahagia di
sisi-Nya.”
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ditunggu komen, saran, dan kritiknya...
Syukron ^,^