Minggu, 06 Januari 2013

Kisal Ibu Penjual Bensin



Bismillaah...

Entah mengapa, hari ini hatiku terasa sangat lapang.
Mungkin karena pagi ini ku awali dengan mengelilingi kota Banjarmasin sembari menghirup udara pagi yang masih perawan. Lalu lalang kendaraan yang saling berpacu. Melajukan kendaraanya menju tempat tujuan mereka masing-masing, entah itu sekolah, kantor, atau tempat lainnya. Semua pergi dengan semangat yang baru. Saat itu, aku memang tak menjadi bagian dari mereka. Aku hanya menjadi pengamat sekaligus penikmat kesibukan pagi hari jalanan kota Banjarmasin.
Mungkin juga aku merasa lapang karena banyak mimpi yang ku lalui tadi malam. Banyak episode mimpi yang menyenangkan, walau tak semua ku ingat dengan jelas. Yang pasti, semua hal di atas berpengaruh besar pada keadaan hatiku pagi ini. Semoga keadaan ini terus berlanjut hingga sang hari berganti.
Jam menunjukkan pukul 08.30 Wita. Dengan santai ku kayuh kawan setiaku, Betty, menuju green camp tercinta. Kurang lebih beberapa meter dari camp, aku pun menghentikan Betty untuk memberikannya asupan gizi di pagi ini. Seorang wanita paruh baya tersenyum di hadapanku. “Dua liter, bu..!” Ucapku. Sebelum memenuhi permintaanku, ibu tersebut menyerahkan selembar KTP padaku seraya berkata, “Minta tolong cek ini, Nak. KTP ini masih aktif atau tidak?”
Dengan perasaan bingung, aku segera meraih KTP itu dan masa aktifnya tertulis sampai tahun 2013. Awalnya ku kira, KTP itu punya sang ibu, tapi saat ku lihat foto yang terpampang di sana adalah foto seorang laki-laki.
Seolah mengerti kebingunganku, ibu tersebut berkata, “KTP punya orang Nak, tadi beli bensin 1 liter tapi ia tak punya uang.”
“Oh, jadi dia meninggalkan KTP ini sebagai jaminan bu?” Tanyaku. Sebuah pertanyaan yang tak sanggup ku ucap, terbersit, “Kok ibu ini percaya?”..
Sembari menuangkan bensin pada Betty ku, sang ibu kembali berbicara. Seolah mengetahui pertanyaan dalam benakku, beliau berkata:
“Sudah sering nak, yang seperti itu. Kadang-kadang ada yang ngutang dulu dua liter, ada yang satu liter, bahkan ada yang membawa jerigennya terus pergi. Kalo yang tadi, yah meninggalkan KTP ini.”
Hatiku bergetar. “Terus, mereka kembali lagi nggak bu?”
“Yah, kebanyakannya sih nggak. Jangankan orangnya nak, jerigen yang dibawa juga tidak kembali.” Sang ibu bercerita dengan tegar. Tak terdengar nada mengeluh atau kemarahan darinya. Meski, begitu banyak haknya yang tidak diberikan. Tanpa rasa bersalah, orang-orang itu mengambil keuntungan dari kebaikan hati sang ibu. Aku yakin, ibu ini bukanlah seseorang yang berkecukupan. Jika tidak, mana mungkin beliau harus berjualan bensin setiap harinya. Tapi aku salut, beliau tidak pernah jera berbuat baik. Dengan polos beliau malah berkata, “Kasian, nak. Kalau melihat orang yang ‘meirit’ kendaraannya karena kehabisan bensin. Karena tidak membawa uang, terpaksa ibu kasih utang dulu. Walaupun kebanyakan memang tidak kembali.”
Ah, ibu. Aku kagum pada ketulusanmu. Di tengah trend individualism yang semakin meraja, masih ada seseorang yang tulus sepertimu. Sebelum pergi, sebuah kalimat kuucapkan tuk semakin melapangkah hatinya.
“Tenang aja bu, Insya Allah ada balasan tuk ibu.” Beliau tersenyum mendengar ucapanku. Sebenarnya aku tau, sang ibu pasti telah meyakini hal itu sebelum aku mengatakannya. Buktinya, tak terlihat dendam dan amarahnya pada orang-orang tak bertanggung jawab itu. Bukankah itu berarti ia telah menyerahkannya pada Yang Paling Bertanggung Jawab???...
Hari ini, aku belajar dari seseorang yang sangat sederhana. Bukan belajar sebuah hadis, bukan pula tafsir dari sebuah ayat, atau materi-materi kuliah lainnya. Tapi,, hari ini aku mendapat pelajaran berharga. Pelajaran tentang ketulusan untuk menolong orang lain dan keyakinan akan ke Maha Besar an Allah.
Terima Kasih ibu penjual bensin, atas pelajaran mahal hari ini
Green Camp, 20 Des ‘12

Jogja: Antara aku dan tafsir hadis


Tak pernah terlintas di benakku. Tak pula menjadi bagian dari daftar mimpiku. Aku tak pernah berfikir bahwa aku akan bisa menginjakkan kaki di kota gudeg, Jogjakarta. Yang lebih mengherankan, aku ada disana bukan bersama keluargaku tercinta. Tapi, bersama rekan-rekan yang juga memilih tafsir hadis sebagai jalan hidup dan HMJ TH sebagai ‘rumah’ kami saat di kampus. Ya, tafsir hadislah yang telah membuat kami berempat bisa merasakan hawa sejuk Jogjakarta. Tafsir hadis pula yang mempertemukanku dengan kawan-kawan dari berbagai belahan nusantara. Yah, semua karena aku yang telah memilihmu. Aku yang telah rela ‘menyerahkan’ masa depan dunia dan akhiratku kepadamu. Tepatnya bukan ‘menyerahkan’, tapi aku ingin kau menjadi perantara menuju impian-impian dunia dan akhiratku.



Bagi sebagian orang, jurusan ini sungguh tak menjanjikan. Tak ada pekerjaan yang pasti menanti setelah menamatkan sarjana di jurusan ini. Anggapan mereka memang tak salah, tapi aku tak peduli. Jogja membuatku kembali bersemangat menjalani hari-hari bersama Tafsir Hadis. Di Jogja, aku menemukan kawan-kawan senasib (sesama Mahasiswa TH) yang dengan bangga menunjukkan jati diri mereka. Mereka yang optimis akan kehidupan masa depan yang lebih baik dengan jurusan ini. Mereka semua dengan pengetahuan Tafsir dan Hadis yang luas. Mereka yang kritis dan berani. Semua membuatku iri dan ingin terus belajar.
Sekali lagi, tafsir hadislah yang membuatku bisa ada di Jogja. Tepatnya, karena aku mahasiswa Tafsir hadis. Lebih tepatnya lagi, karena aku menjadi bagian dari Himpunan Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis. Yah, tak mungkin aku bisa ada di Jogja dan UIN Sunan Kalijaga karena acara ini adalah “Semiloka Hadis sekaligus Munas FKMTHI (Forum Komunikasi Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis)”. Inilah seminar hadis tingkat nasional dan pertemuan Himpunan Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis se-Indonesia. Jika bukan pengurus HMJ, mungkin bukan aku yang saat itu ada di Jogja dan menemani ketiga rekanku.
Aku bangga (pasti juga dirasakan oleh ketiga rekanku) saat menyebutkan nama IAIN Antasari Banjarmasin di tanah Jawa. Tak hanya di tanah Jawa, tapi di hadapan kawan-kawan se-Indonesia. Melihat antusias mereka mendengar nama Banjarmasin, aku tertegun. Mungkin mereka takjub karena kami nekat melintasi pulau hanya untuk menghadiri acara ini. Ketakjuban mereka semakin bertambah saat mereka tau bahwa kami menggunakan dana pribadi dan “bantuan” dari beberapa pengajar bukan dana khusus yang disediakan oleh kampus, untuk sampai ke kota ini. Satu hal yang juga membuatku bangga adalah saat mereka dengan agak kaku menyebutkan salah satu bahasa kita ‘ulun’. Yang cukup menggelikan adalah saat seorang rekan dari Cirebon memanggilku dengan sebutan ‘ulun’. Panggilan itu bukan gelar, bukan pula ejekan. Tapi awalnya ia memang mengira bahwa ‘ulun’ adalah namaku. Sambutan yang hangat dan penghargaan yang mereka semua berikan lah yang membuat kami berat meninggalkan kota ini.
Setiap momen di UIN SuKa dan Jogjakarta terus melekat di benakku. Semua menyenangkan, semua membahagiakan, dan semua takkan pernah terlupakan. Sayang, selalu ada perpisahan di setiap pertemuan. Tapi aku berharap akan ada lagi pertemuan-pertemuan selanjutnya bersama mereka. Aamiin…